Ancaman Pidana Mati Kasus Minyak Goreng Potensi Kontraproduktif
Terbaru

Ancaman Pidana Mati Kasus Minyak Goreng Potensi Kontraproduktif

Pilihan menerapkan hukuman mati malah akan menghambat proses penegakan hukum kasus korupsi.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Warga antusias mengantre membeli minyak goreng harga murah. Foto: RES
Warga antusias mengantre membeli minyak goreng harga murah. Foto: RES

Penyidik Kejaksaan Agung bergerak cepat menyelidik dan menyidik kasus dugaan pemberian izin fasilitas ekspor crude palm oil (CPO). Sebanyak 4 orang ditetapkan sebagai tersangka dengan jerat ancaman hukuman antara lain pidana maksimal hukuman seumur hidup, bahkan mati dengan menggunakan Pasal 2 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengatakan Kejaksaan Agung dapat menerapkan Pasal 2 ayat (2) UU 31/1999 dengan ancaman hukuman mati terhadap para tersangka. “Semua opsi Pasal 2 ayat (2) dapat diterapkan termasuk ancaman mati,” ujar Boyamin dalam keterangannya, Rabu (27/4/2022).

Dia beralasan ancaman pidana hukuman seumur hidup bahkan mati layak dijadikan jerat hukuman bagi para tersangka. Pasalnya para tersangka ditengarai telah membuat kekacauan ekonomi di tengah masyarakat yang berujung kelangkaan minyak goreng, serta tingginya harga di pasaran.

Baca:

Boyamin mendorong penyidik Kejaksaan Agung mengembangkan kasus dengan menyasar perusahaan besar yang diduga terkait ekspor CPO. Sebab, kata Boyamin, ada 9 perusahaan CPO yang diduga memiliki keterkaitan dengan pelanggaran aturan Domestik Market Obligation (DMO) dan CPO). “Jadi MAKI mendorong Kejagung untuk mengait dengan pihak-pihak terlibat,” ujarnya.

Sementara Ketua Asosiasi Ilmuan Hukum Indonesia (Alpha) Azmi Syahputra berpandangan, penyidik Kejaksaan Agung tak boleh tebang pilih terhadap para pihak yang ditengarai terlibat dalam permainan minyak goreng. Karenanya mesti diganjar hukuman maksimal. Menurutnya terhadap pejabat yang terbukti menerima gratifikasi maupun suap serta menyalahgunakan jabatan layak diganjar hukuman maksimal.

“Layak dihukum mati atau seumur hidup, secara dilakukan pejabat dan pengusaha maupun organ perusahaan di masa Covid-19,” ujarnya.

Terpisah, Direktur Eksekutif Institute Criminal for Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu berpandangan Kejaksaan Agung mewacanakan penuntutan pidana mati untuk kasus Tipikor. Wacana pidana mati kembali bakal digunakan dalam kasus korupsi ekspor sawit mentah yang disinyalir memicu kelangkaan minyak goreng di tengah pandemi.

“Namun, ICJR mengingatkan bahwa melempar wacana ini ke publik justru dapat mempersulit kinerja kejaksaan,” ujarnya.

Menurutnya, ada beberapa poin yang perlu diperhatikan bagi institusi Kejaksaan. Pertama, dalam menerapkan pidana mati untuk kasus korupsi terbatas pada keadaan tertentu yang disebutkan dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU 31/1999. Antara lain hanya ketika korupsi dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional. Kemudian penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan merupakan pengulangan/residivis tipikor.

Kendati dari aspek waktu kejadian di tengah situasi pandemi, namun Kejaksaan perlu mencermati dengan lebih jeli kronologi ekspor sawit mentah yang berujung kelangkaan minyak goreng domestik masuk dalam kriteria keadaan tertentu sebagimana dimaksud Pasal 2 ayat (2) UU 31/1999. Bagi ICJR, kata Erasmus, kasus minyak goreng tersebut belum memenuhi kriteria dalam Pasal 2 ayat (2) UU 31/199

“Sehingga memaksakan penggunaannya justru akan menghabiskan tenaga dan fokus dari kejaksaan sendiri,” kata dia.

Kedua, pemberantasan korupsi bakal jauh lebih efektif bila memaksimalkan langkah-langkah pencegahan melalui perbaikan sistem pemerintahan. Sedangkan penegak hukum khususnya Kejaksaan lebih baik memaksimalkan proses penegakan hukum. Seperti mengusut potensi pencucian uang, mengejar beneficial owner bukan hanya pelaku lapangan, hingga mengupayakan pemulihan/perampasan aset.

Dengan demikian, orientasinya tak hanya menghukum pelaku lapangan yang umumnya bisa tertangkap dengan seberat-beratnya hukuman seperti pidana mati, tapi memastikan seluruh pelaku yang bertanggung jawab dapat dihadapkan ke pengadilan. Serta mengejar seluruh aset pelaku yang dapat dirampas hingga menjatuhkan pidana tambahan. Seperti denda atau pembayaran uang pengganti untuk kepentingan publik/negara.

Ketiga, ketika langkah yang dipilih adalah pidana mati, secara teknis hukum Kejaksaan tak dapat melakukan penegakan hukum secara maksimal. Sebab, bakal terbentur Pasal 67 KUHP yang prinsipnya melarang adanya pidana tambahan, seperti denda dan uang pengganti bagi orang yang telah dituntut/dijatuhi pidana mati.

“Dengan demikian, negara akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh penggantian kerugian negara yang semaksimal mungkin dari para pelaku, padahal upaya ini sangat penting untuk dijadikan sebagai sumber dana pemulihan ke depan,” ujarnya.

Keempat, pidana mati juga hanya dapat dijatuhkan kepada orang perseorangan, bukan korporasi. Menurut Eras begitu biasa disapa, saat proses penyidikan fokus mengejar orang agar diganjar pidana mati, maka dalam proses pengembangan penyidikan tersebut sangat berpotensi mengaburkan fokus penegakan hukum. Padahal, seharusnya dapat mengejar korporasi-korporasi yang terlibat.

Kelima, Kejaksaan perlu hati-hati dalam menerapkan hukuman mati dalam Tipikor. Sebab, pada akhirnya hanya akan menjadi kontraproduktif, khususnya dalam konteks pengusutan aset pelaku maupun permohonan ekstradisi untuk jaringan pelaku tindak pidana korupsi lainnya yang berada di luar negeri. Program Mutual Legal Assistance (MLA) merupakan kerja sama bilateral antara Indonesia dengan negara-negara lain dapat dipastikan tidak akan berjalan.

“Oleh karenanya, pilihan untuk menerapkan hukuman mati malah akan menghambat proses penegakan hukum kasus korupsi,” katanya.

Prinsipnya, ICJR mendukung penuh langkah Jaksa Agung dalam mengusut tuntas kasus kelangkaan minyak goreng. Atas dasar itulah ICJR merekomendasikan agak Kejaksaan Agung lebih fokus pada membongkar jaringan, keterlibatan para aktor yang lebih berpengaruh, memulihkan kerugian negara

“Dan membantu pemerintah untuk menciptakan sistem pencegahan kejadian serupa untuk melindungi masyarakat,” katanya.

Sebelumnya, Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung Supardi menyebutkan keempat tersangka dikenakan Pasal 2 atau Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Kemudian Pasal 54 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a b e dan f Undang-Undang Nomor 7 tahun 2014 tentang Perdagangan dan/atau Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 129 jo nomor 170 Tahun 2022 tentang Penetapan Jumlah untuk Distribusi Kebutuhan Dalam Negeri dan Harga Penjualan di Dalam Negeri.

Lalu, ketentuan Bab 2 huruf a angka 1 huruf b jo bab 2 huruf c angka 4 huruf c Peraturan Direktorat Jenderal perdagangan luar negeri nomor 02 DAGLU per 1 2022 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Kebijakan dan Pengaturan Ekspor CPO. “Utamanya Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi," kata Supardi.

Tags:

Berita Terkait