Anomali Asas Non Retroaktif dalam Putusan MK Perpanjangan Jabatan Pimpinan KPK
Kolom

Anomali Asas Non Retroaktif dalam Putusan MK Perpanjangan Jabatan Pimpinan KPK

Jangan sampai putusan MK ini justru dipergunakan sebagai alat oleh pemerintah untuk menyalahgunakan kekuasaan untuk melindungi kepentingan semata.

Bacaan 5 Menit

Maka melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022, berakibat diperpanjangnya masa jabatan pimpinan KPK. Walaupun memang tidak disebutkan dalam putusan MK secara terang menderang akan perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK tersebut, namun hal ini justru ditegaskan kembali oleh Juru Bicara Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono menyebut, Putusan Nomor 112/PUU-XX/2022 itu sudah berlaku saat ini. Maka sesuai dengan Pasal 47 UU MK dapat disimpulkan Firli Bahuri beserta pimpinan KPK lainnya diperpanjang masa jabatannya sampai dengan 20 Desember 2024.

Konsekuensi lainnya dengan adanya perpanjangan masa jabatan tersebut, maka Presiden harus mengeluarkan Keppres baru untuk memperpanjang pimpinan KPK yang lama, dan mencabut Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 112/p Tahun 2019 dan 129/p Tahun 2019 tentang Pengangkatan Pimpinan KPK periode 2019-2023.

Pendapat berbeda disampaikan oleh pengamat hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari. Ia menyebut, puutusan MK itu tidak bisa diberlakukan untuk masa jabatan Firli Cs. Feri menyebut, jika perpanjangan itu diberlakukan untuk Firli Cs, berarti putusan MK tersebut diberlakukan secara surut. “Kalau dilihat dalam konteks penerapan hukumnya tidak dapat diterapkan untuk memperpanjang masa jabatan Pimpinan KPK yang ada saat ini”. Menurut Feri penerapan hukum tersebut baru bisa diterapkan pada Pimpinan KPK berikutnya. Hal tersebut sejalan dengan asas non retroaktif yang melarang suatu undang-undang diberlakukan secara surut.

Menurut Black’s Law Dictionary memberikan definisi mengenai retroactivie adalah “extending in scope or effect to matters that have occured in the past” atau dapat diartikan meluas sampai mempengaruhi hal yang terjadi di masa lalu. 

Asas non retroaktif berlaku pada peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 28 I Undang Undang Dasar 1945, yakni “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

Keberadaan asas non retroaktif merupakan prinsip universal yang bertujuan tidak lain adalah untuk memberikan perlindungan hak asasi manusia, untuk mencegah timbulnya korban ketidakadilan sebagai akibat kesewenang-wenangan penguasa. Pada hakikatnya asas ini melekat keberadaanya dengan hukum pidana. Sedangkan pemberlakuan asas non retroaktif menurut peraturan perundang-undangan, di mana suatu peraturan tidak dapat diberlakukan secara surut. Begitupun berlaku hal yang sama bagi putusan MK.

Salah satu karakteristik yang dimiliki oleh putusan MK selain putusan bersifat “prospektif” atau ex nunc atau pro future yaitu putusan yang berlaku ke depan. Ex nunc secara harfiah berarti sejak saat sekarang. Dalam konteks ini, ex nunc berarti perbuatan dan akibatnya dianggap ada sampai saat pembatalannya.

Tags:

Berita Terkait