Apkasindo Tolak Moratorium Alih Fungsi Hutan
Utama

Apkasindo Tolak Moratorium Alih Fungsi Hutan

Penghentian sementara izin alih fungsi hutan dianggap merugikan petani kelapa sawit.

Yoz
Bacaan 2 Menit
Moratorium alih fungsi lahan ditentang petani kelapa sawit.<br>Foto: kotapinang.wordpress.com
Moratorium alih fungsi lahan ditentang petani kelapa sawit.<br>Foto: kotapinang.wordpress.com

Perjanjian kerja sama dalam bentuk Letter of Intent (LoI) yang diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Oslo, Norwegia pada tahun lalu, mendapat penolakan dari Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo). Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Apkasindo, Anizar Simanjuntak, menyatakan sikap penentangan tersebut dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR, Senin (14/2), di Jakarta.

 

Anizar mengatakan, salah satu isi perjanjian tersebut jelas-jelas mengancam kelangsungan industri dan perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Menurutnya, kelapa sawit saat ini menjadi tanaman primadona di kalangan petani. Bahkan pembukaan lahan kelapa sawit di berbagai daerah terbukti telah menggerakkan roda pembangunan, khususnya di sektor riil.

 

“Jadi kami tidak setuju dengan isi moratorium tersebut. Jika pemerintah butuh kompensasi berupa dana dari moratorium tersebut, kami siap menyediakan,” ujarnya.

 

Pernyataan Anizar diamini Sekretaris Jenderal Apkasindo, Asmar Arsjad. Ia mengatakan, penghentian sementara izin alih fungsi hutan itu merugikan petani kelapa sawit. Adanya moratorium itu akan membuat banyak petani menganggur. Padahal, perkebunan kelapa sawit bisa menyerap sekitar 20 juta tenaga kerja.

 

Asmar mengatakan, setidaknya ada beberapa peraturan perundang-undangan yang dilanggar jika moratorium itu dijalankan, yaitu PP Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan dan Peruntukkan Fungsi Kawasan Hutan, PP Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, PP Nomor 6 Tahun 2007 jo PP Nomor 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, dan PP Nomor 44 Tahun 2009 tentang Perencanaan Kehutanan dan PP Nomor 45 Tahun 2009 jo PP Nomor 60 Tahun 2009 tentang Perlindungan Hutan.

 

“Sebaiknya, Pemerintah meninjau kembali moratorium konversi hutan alam dan lahan gambut,” katanya.

 

Wakil Ketua Komisi VI Aria Bima dapat memahami tuntutan Apkasindo ini. Menurutnya, yang paling penting dilakukan Pemerintah saat ini adalah merawat hutan yang masih ada dan juga mengatasi pembalakan liar. Ia meminta Pemerintah tidak mengorbankan perkebunan kelapa sawit yang dianggap berpotensi mensejahterakan hidup rakyat, khususnya para petani.

 

“Pemerintah jangan mau diperalat oleh asing, tetapi harus dapat membuat sebuah kebijakan yang pro terhadap rakyat,” tutur politisi PDIP ini.

 

Desakan agar pemerintah membatalkan LoI juga disampaikan Erik Satrya Wardhana. Menurutnya, LoI tersebut lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Dengan menandatangani perjanjian tersebut, katanya, Pemerintah Indonesia telah salah dalam menyikapi isu perubahan iklim yang hanya menggunakan perspektif litigasi semata.

 

Seperti diberitakan hukumonline sebelumnya, Pemerintah Indonesia pada tanggal 26 Mei 2010 menandatangani LoI di Oslo mengenai Moratorium dua tahun di wilayah hutan alam dan lahan gambut di Indonesia. Artinya, semua izin yang berkaitan dengan kegiatan di hutan alam akan dihentikan selama dua tahun. Adapun yang terkena dampak dalam hal ini antara lain industri kehutanan, industri perkebunan kelapa sawit, aneka tambang di dalam hutan dan sebagainya.

 

LoI antara pemerintah Indonesia dan Norwegia  merupakan kesepakatan kerja sama antara kedua pihak untuk melakukan penurunan emisi gas rumah kaca, deforestasi dan degradasi hutan (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation/REDD+). Sebagai imbalannya, Pemerintah Norwegia menjanjikan AS$1 miliar atau sekitar Rp1 triliun per tahun.

 

Pihak Norwegia telah meminta Indonesia untuk merampungkan Perpres yang mengatur mengenai moratorium konversi hutan primer dan lahan gambut. Soalnya, Perpres itu menjadi dasar dari pelaksanaan kerjasama REDD+. Namun, permintaan itu hingga kini belum terealisasi. Padahal, dalam kesepakatan dengan Norwegia, moratorium berlaku dua tahun sejak 1 Januari 2011 hingga 31 Desember 2012.

 

Kabar yang beredar mengatakan, belum tercapai kesepakatan mengenai cakupan moratorium termasuk hutan primer atau juga sekunder. Silang pendapat itu terjadi antara Kementerian Kehutanan dan Satgas Pembentukan Lembaga Penurunan Emisi Karbon. Dalam draf Perpres yang dibuat Kementerian Kehutanan, cakupan moratorium hanya hutan alam primer dan gambut. Tetapi Satgas Penurunan Emisi Karbon menambahkan hutan sekunder dalam lingkup moratorium.

 

Joko Arif, Juru kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara, mengatakan Perpres ini harusnya sudah selesai sebelum 1 Januari 2011. Sebab, mulai awal tahun tersebut program penghentian penebangan hutan akan dimulai sesuai kesepakatan kedua Pemerintah. Dia khawatir, lambatnya Perpres ini akan menyebabkan bantuan yang diberikan Pemerintah Norwegia berkurang.

 

“Sayang sekali, padahal moratorium menjadi tonggak penyelamatan hutan di Indonesia,” ujarnya dalam temu wartawan di Jakarta, beberapa waktu lalu.

 

Koordinator Program Khusus Perubahan Iklim HuMa, Bernadinus Steni, juga menyesalkan lambatnya aturan ini diselesaikan Pemerintah. Karena itu, ia dengan tegas meminta pemerintah memberlakukan klausul berlaku surut ketika Perpres ini disahkan nantinya. Kendati demaikin, ia melihat sisi positif belum selesainya aturan ini. Sebab, masih terbuka ruang untuk memberi masukan dari sisi substansi.

 

Tags: