Dalam artian lain, meski rakyat memilih salah satu calon maka suara tersebut menjadi suara partai politik pengusung. Suara partai politik yang telah mencapai ambang batas kursi akan diberikan kepada calon yang diusung berdasarkan nomor urut.
Ketika pelaksanaan pemilu dengan sistem proporsional tertutup dilakukan, setiap partai politik tetap akan mengirimkan daftar kandidat bakal calon yang diusung. Hal yang berbeda dari sistem proporsional terbuka adalah, pemilih tidak secara langsung memilih para bakal calon tersebut.
Pemilih nantinya, akan diminta untuk memilih tanda gambar atau lambing partai politik. Sedangkan kandidat dengan nomor urut terkecil dalam sebuah partai politik berhak menduduki kursi pertama di lembaga dewan perwakilan.
Dalam buku ‘Evaluasi Sistem Pemilu di Indonesia 1955-2021’, sistem proporsional tertutup sudah dipakai sejak era Orde Lama. Pada era ini, sistem politik menjadi demokrasi terpimpin sehingga memberi porsi kekuasaan besar kepada eksekutif.
Sistem proporsional tertutup terus dipakai hingga era Orde Baru. Saat Orde Baru, proporsional tertutup menguatkan sistem oligarki kepartaian, sehingga model ini dianggap tidak demokratis bahkan memunculkan hegemoni parpol besar.
Kemudian, sistem proporsional tertutup masih dipakai pada tahun 1999 lewat UU No.3 Tahun 1999. Perubahan terjadi ketika sistem proporsional terbuka diterapkan melalui UU No. 12 Tahun 2003 dan terus digunakan hingga saat ini.
Saat ini, Indonesia menggunakan sistem proporsional terbuka yang diketahui melalui Pasal 168 ayat (2) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menyatakan, pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kab/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.