Seorang hakim agung naik bajaj atau taksi ke kantornya memang bukan pemandangan yang lazim. Begitu pula hakim agung mengontrak rumah di perkampungan belakang bengkel las. Terlebih, dalam kondisi saat ini ketika kendaraan dan barang mewah lainnya seakan menjadi ukuran prestise tidaknya seseorang. Melihat panitera Pengadilan Negeri di Jakarta mengendarai mobil mewah adalah suatu hal yang biasa. Siapakah Artidjo, sosok yang mampu melawan arus ini?
Lahir di Situbondo, Jawa Timur, ayah dan ibu Artidjo berasal dari Sumenep. Karena itu, darah Madura mengalir deras di tubuhnya. Sampai lulus SMA, Artidjo mengenyam pendidikan di Asem Bagus, Situbondo. Ia kemudian masuk Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
Dari kecil, Artidjo sama sekali tidak pernah berencana untuk berkecimpung di dunia hukum. Kisah masuknya Artidjo ke FH UII merupakan suatu kebetulan, yang menurut Artidjo adalah kisah yang aneh. Alkisah, ketika duduk di bangsu SMA di Situbondo, Artidjo mengambil jurusan eksakta dan ingin masuk Fakultas Pertanian.
Alasannya sederhana saja, karena ayahnya seorang petani yang juga guru agama. Agar menghemat ongkos, Artidjo menitipkan pada seorang kenalannya di Asem Bagus yang kuliah di Yogya untuk mendaftarkannya di Fakultas Pertanian. Rencananya pada saat tes, Artidjo akan datang ke Yogya.
Apa lacur, ternyata pendaftaran untuk fakultas pertanian sudah ditutup. Kenalan Artidjo yang mahasiwa Fakultas Hukum UII menyarankan Artidjo agar masuk ke FH UII, kemudian tahun berikutnya baru mendaftar lagi di Fakultas Pertanian. Akhirnya, Artidjo mendaftar di FH UII yang tidak pernah ia kenal sebelumnya. Namun, ternyata Artidjo merasa betah di Fakultas Hukum dan tidak berminat lagi mendaftar di Fakultas Pertanian.
Selama menjadi mahasiswa, Artidjo aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan juga Dewan Mahasiwa (Dema). Bahkan, ia sempat menjadi ketua Dema. Karena aktivitasnya itu, Artidjo "terpaksa" menjadi dosen di almamaternya. Ketika aktif di Dema, ia sering berdemonstrasi memprotes kegiatan belajar mengajar di UII, yang menurutnya masih banyak masalah.
Seorang profesor di UII mengatakan pada Artidjo, "Kamu jangan hanya protes, tunjukkan juga bahwa kamu juga punya dedikasi sama UII," kata Artidjo menirukan. "Akhirnya saya termakan sama ucapan sendiri. Saya memberikan sebagian ilmu saya sampai saat ini," ujar Artidjo.