Asia Pro Bono Conference, Gerakan Global dalam Meningkatkan Akses Terhadap Keadilan
Kolom

Asia Pro Bono Conference, Gerakan Global dalam Meningkatkan Akses Terhadap Keadilan

Tidak hanya berguna bagi advokat dan masyarakat, ketika pro bono sudah masif dijalankan, maka negara sebagai pihak yang juga memiliki kewajiban dalam hal penyediaan bantuan hukum juga akan diuntungkan.

Bacaan 2 Menit

 

Berbeda dengan Hong Kong, Pakistan menjalankan agenda pro bono dihidupkan melalui berbagai kampanye pada media-media yang disesuaikan dengan target penerima pro bono. Misalnya, untuk mengenalkan pro bono kepada anak anak dan ibu rumah tangga, dibuatlah seni drama boneka yang di pertontonkan di balai-balai kota atau desa. Kemudian untuk masyarakat luas lainnya pro bono diperkenalkan dengan membuat pesan bergambar denganseni mural di badan-badan truk. Dengan cara tersebut pesan-pesan pro bono bisa disebarkan secara luas.

 

Jika dua negara di atas memberdayakan advokat dan masyarakat umum dalam mempromosikan pro bono, Mongolia lebih mendekatkan diri kepada kelompok-kelompok masyarakat yang dianggap potensial sebagai penerima pro bono, yakni kelompok masyarakat miskin dan kelompok masyarakat berbasis perempuan. Bukan tanpa alasan, kedua kelompok tersebut dijadikan sasaran karena dinilai paling rentan untuk mendapatkan perlakuan tidak adil saat memiliki masalah hukum. Mereka diberikan pembekalan berupa pengetahuan dasar terkait bagaimana mereka harus bertindak, minimal untuk mempertahankan hak-haknya saat berhadapan dengan hukum. Selain itu, Mongolia Bar Association juga menyediakan sebuah laman khusus berbasis website yang salah satu fungsinya adalah memberikan advice hukum gratis yang dapat diakses oleh siapapun dan di manapun mereka berada.

 

Indonesia sebagai salah satu peserta konferensi, melalui Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) juga menyampaikan gagasan pro bono apa saja yang ada di Indonesia. Menurut Peradi sistem pro bono yang mereka jalankan termasuk dalam kategori clearing house yakni pemberian konsultasi, pelatihan atau pengembangan pengetahuan hukum dengan cara mendatangi langsung para pencari keadilan. Langkah ini menurut Peradi dinilai lebih efektif karena jika hanya “menunggu” mereka yang membutuhkan bantuan hukum datang ke kantor Peradi adalah sebuah kesia-siaan.

 

Tantangan Pelaksanaan Pro Bono

Meskipun gerakan gerakan probono sudah gencar digalakkan hingga saat ini. Tidak dipungkiri, dalam pelaksanaannya masih terdapat berbagai macam tantangan. Mulai dari permasalahan teknis terkait pemberian pro bono oleh advokat, hingga aspek-aspek yang berkaitan dengan masyarakat penerima pro bono. Permasalahan hukum yang sensitif gender di lingkungan masyarakat yang cukup konservatif misalnya, ternyata berkontribusi pula faktor penghambat pelaksanaan pro bono bagi para transgender.

 

Tidak hanya itu, dari sisi advokat, mereka kadangkala dihadapkan pada permasalahan hukum yang oleh mereka sendiri tidak familiar dengan isu tersebut. Dalam kondisi demikian kesadaran akan keterbatasan diri sangat penting sehingga upaya merujuk advokat lain yang lebih berpengalaman menjadi solusi agar pro bono yang dibutuhkan masyarakat tetap bisa berjalan.  

 

Di Indonesia sendiri, pro bono hingga hari ini masih menjadi angan-angan lantaran dalam praktiknya pro bono tak seideal yang diharapkan. Ketidakidealan tersebut lagi-lagi disebabkan oleh kedua belah pihak yakni advokat dan masyarakat selaku aktor di dalamnya. Keterbatasan kemampuan advokat untuk menjangkau sektor atau area pro bono dan ketidaktahuan masyarakat bahwa setiap advokat bisa dimintakan pro bono menjadi kendala utama mengapa pro bono tidak begitu “subur” di Indonesia. 

 

Hal tersebut sejalan dengan apa yang Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI FHUI) temukan dalam penelitiannya pada 2018. Dari survei yang yang disebar kepada advokat di 6 (enam) kota besar di Indonesia, diketahui bahwa pentingnya media yang bisa mempertemukan advokat dan masyarakat penerima pro bono merupakan salah satu isu yang perlu untuk ditindaklanjuti.

Tags:

Berita Terkait