Aspek-aspek yang Harus Dipahami dalam Menyusun Perjanjian
Utama

Aspek-aspek yang Harus Dipahami dalam Menyusun Perjanjian

Manfaat perjanjian memberikan fungsi ekonomis kepada para pihak.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Aktivitas manusia sehari-hari tidak lepas dari perjanjian. Perjanjian merupakan kesepakatan antara dua orang atau lebih mengenai hal tertentu yang disetujui oleh mereka. Perjanjian tidak harus dituang dalam bentuk tertulis, bahkan secara sederhana kegiatan jual beli dapat disebut dengan perjanjian.

Namun dalam kegiatan bisnis dan utang piutang, perjanjian disajikan dalam bentuk tertulis dan sesuai dengan kaidah-kaidah hukum yang berlaku. Partner pada Nindyo & Associates, Sarmauli Simangunsong, mengatakan bahwa perjanjian yang disajikan dalam bentuk tertulis memberikan banyak manfaat dan tujuan seperti kepastian hukum, meminimalisir konflik, menjadi alat bukti jika terjadi sengketa, dan memiliki fungsi ekonomis.

“Manfaat perjanjian memberikan fungsi ekonomis kepada para pihak. Misalnya perusahaan memiliki perjanjian jangka panjang ke perusahaan penyedia jasa. Suatu saat jika perusahaan mau IPO, perjanjian dengan beberapa pihak tersebut sangat berharga. Karena investor akan melihat perjanjian-perjanjian perusahaan, oh perjanjiannya bagus,” kata Sarma dalam IG Live Klinikhukum “Yuk Tanya-Jawab Seputar Hukum Perjanjian”, Jumat (29/5).

Untuk membuat perjanjian, lanjut Sarma, terdapat unsur-unsur yang harus dipahami. Pertama, unsur essensialia. Unsur essensialia adalah bagian perjanjian yang harus selalu ada di dalam suatu perjanjian, bagian yang mutlak, di mana tanpa adanya bagian tersebut perjanjian tidak mungkin ada.

“Unsur esensialia adalah pokok syarat yang tidak bisa diabaikan dalam perjanjian, harus ada dalam perjanjian jika tidak ada maka perjanjian tidak sah. Misalnya perjanjian jual beli unsur pokoknya harus ada obyek jual beli, kemudian harus ada harga. Kalau tidak ada obyek bagaimana mau membuat perjanjian, dan kalau tidak ada harga bagaimana mau membuat jual beli,” jelas Sarma. (Baca: Mengenal Kewajiban Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Perjanjian Bisnis)

Kedua, unsur naturalia. Unsur naturalia adalah bagian perjanjian yang oleh Undang–undang diatur, tetapi oleh para pihak dapat diganti, sehingga bagian tersebut oleh Undang–undang diatur dengan hukum yang sifatnya mengatur atau menambah. Dalam konteks ini, unsur naturalia bisa disebutkan dalam perjanjian, namun jika para pihak memutuskan untuk tudak memasukkan dalam perjanjian, maka perjanjian tetap mengikat dan tidak akan membatalkan perjanjian.

Ketiga, unsur aksidentalia. Unsur aksidentalia atau unsur pelengkap adalah bagian perjanjian yang ditambahkan oleh para pihak, sementara Undang – Undang sendiri tidak mengatur tentang hal tersebut. Jadi hal yang diinginkan tersebut juga tidak mengikat para pihak karena memang tidak ada dalam Undang – Undang.

“Aksidentalia, unsur pelengkap. Unsur yang disetujui para pihak, bisa diatur atau tidak dalam perjanjian misalnya tempat melakukan tanda tangan perjanjian dan sebagainya,” ujar Sarma.

Kemudian dalam kerangka perjanjian terbagi atas tiga bagian. Bagian pertama adalah pembukaan. Pada bagian ini, lanjut Sarma, hal pokok adalah judul perjanjian atau kontrak. Judul dan isi perjanjian harus sama, lalu ada komparisi yang menerangkan tentang isi, dan juga premis atau latar belakang kontrak.

“Dalam bagian pembukaan, judul harus sesuai dengan isinya, kalau isinya jual beli judulnya jangan sewa menyewa. Lalu komparisi, itu isinya apa, menjelaskan para pihak dan para pihak ini harus dilihat dengan cermat siapa yang boleh melakukan perjanjian, dan ada premis yakni latar belakang perjanjian,” paparnya.

Setelah bagian pembukaan, perjanjian masuk ke bagian kedua yakni isi perjanjian. Isi perjanjian ini harus memuat unsur-unsur dalam perjanjian seperti ketentuan pokok, tambahan, atau formalitas, pemilihan Bahasa dalam kontrak, penyelesaian sengketa dan diakhiri dengan penutup atau akhir kontrak.

Meski para pihak sudah membuat suatu perjanjian secara tertulis, Sarma mengingatkan bahwa potensi sengketa atau konflik akan tetap ada. Sengketa yang kerap muncul dalam perjanjian adalah wan prestasi dimana salah satu pihak tidak dapat menjalankan kewajibannya sesuai isi perjanjian.

“Saat seseorang tidak bisa menjalankan kewajiban dia memang bisa disebut wanprestasi, melanggar kewajiban, tapi ada kondisi karena keadaan yang tidak bisa dihindari dan bukan kesalahan salah satu pihak itu disebut force majeur. Dalam perjanjian biasanya juga diatur bagaimana prosedur force majeur diakui oleh pihak yang satunya,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait