Aspek Yuridis Transaksi Derivatif di Indonesia (I)
Kolom

Aspek Yuridis Transaksi Derivatif di Indonesia (I)

Kasus-kasus transaksi derivatif kembali menjadi buah bibir di Indonesia, khususnya setelah terjadinya krisis ekonomi berkepanjangan yang melanda Indonesia. Nilai mata uang rupiah terus melemah kemudian diikuti dengan melonjaknya suku bunga sampai pada posisi yang menyakitkan dan melumpuhkan bagi seluruh sendi-sendi perekonomian Indonesia, baik dalam aktivitas nasional maupun internasional.

Bacaan 2 Menit

"Suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari nilai instrumen yang mendasari seperti suku bunga, nilai tukar, komoditi, ekuiti, dan indeks yang diikuti dengan pergerakan atau tanpa pergerakan dana/instrumen"

Dari definisi tersebut di atas, dapat diambil  poin-poin penting , sebagai berikut:

- Transaksi derivatif merupakan  suatu kontrak.

- Nilai pembayaran  bergantung  kepada peristiwa yang belum pasti.

- Kontrak pembayaran dengan atau tanpa pergerakan dana/instrumen.

Ketiga poin tersebutlah yang  menjadi bagian dari perdebatan para ahli dan pemerhati  hukum, termasuk para hakim, dalam mencari dasar hukum dari kehadiran transaksi tersebut dalam aktivitas bisnis di Indonesia.

Transaksi derivatif merupakan suatu kontrak

Mengingat transaksi derivatif  adalah  merupakan kontrak atau perjanjian pembayaran, maka tinjauan hukum dari keabsahan kontrak tersebut dapat dilihat dalam KUH Perdata, buku III yang mengatur tentang hukum kontrak.

Syarat-syarat yang menjadi dasar keabsahan suatu kontrak diatur dalam Pasal 1320 KUH perdata, yaitu : (a) adanya kesepakatan para pihak, (b) mempunyai  kapasitas/wewenang untuk berkontrak, (c) obyek yang diperjanjikan jelas, (d) kausa yang diperjanjikan halal.

Bila poin a dan b tersebut di atas tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan (voidable). Akan tetapi,  bila poin c dan d tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum (void and null).

Kesepakatan para pihak  dalam berkontrak secara hukum didasari atas kebebasan para pihak untuk melakukan kesepakatan tersebut (freedom of contract). Hal tersebut ditegaskan dalam pasal 1338 KUH Perdata di mana para pihak yang berkontrak memiliki dan dijamin kebebasannya  untuk menentukan poin-poin perikatan yang akan mengikat para pihak tersebut  secara hukum.

Prinsip kebebasan berkontrak (pacta sunt servanda)  memberikan hak bagi para pihak untuk menambah. Bahkan, juga meniadakan (waive)  dari ketentuan-ketentuan  yang diatur dalam pasal-pasal tersebut sepanjang pasal-pasal yang bukan merupakan ketentuan yang memaksa (mandatory rules).

Halaman Selanjutnya:
Tags: