Aspek Yuridis Transaksi Derivatif di Indonesia (I)
Kolom

Aspek Yuridis Transaksi Derivatif di Indonesia (I)

Kasus-kasus transaksi derivatif kembali menjadi buah bibir di Indonesia, khususnya setelah terjadinya krisis ekonomi berkepanjangan yang melanda Indonesia. Nilai mata uang rupiah terus melemah kemudian diikuti dengan melonjaknya suku bunga sampai pada posisi yang menyakitkan dan melumpuhkan bagi seluruh sendi-sendi perekonomian Indonesia, baik dalam aktivitas nasional maupun internasional.

Bacaan 2 Menit

Hal inilah salah satu yang mendasari bahwa para pihak dapat mendasarkan suatu kesepakatan untuk berkontrak dengan menggunakan model-model perjanjian  yang telah distandarisasi (standarised contract), asal bukan dalam pemahaman kontrak baku atau kontrak adhesive, sebagai dasar  kontrak yang mengikat antara para pihak tersebut.

Contohnya: dalam kontrak transaksi derivatif tersebut para pihak yang berkontrak dapat  menggunakan poin-poin kesepakatan yang telah distandarisasi dalam Master Agreement yang dikeluarkan oleh Internasinal Swap Dealer Association (ISDA) sepanjang hal tersebut tidak membatasi para pihak terhadap prinsip kebebasan berkontrak  dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia.

Kontrak pembayaran

Dari  sifat transaksi  derivatif yang mendasarkan komitmen pembayaran (pemenuhan prestasi) terhadap suatu nilai yang merupakan turunan dari suatu nilai instrumen yang mendasari seperti yang disebutkan dalam definisi di atas umumnya selalu berfluktuasi bergantung kepada keadaan-keadaan yang tidak tentu, seperti kondisi ekonomi, politik, dari suatu negara ataupun kejadian-kejadian yang spesifik yang dapat mempengaruhi naik turunnya  nilai tukar mata uang tersebut. Hal ini membuat transaksi ini mempunyai kedekatan arti dengan transaksi yang disebutkan oleh pasal 1774 KUH Perdata sebagai salah satu jenis perjanjian untung-untungan, yaitu:  

"Suatu Perjanjian untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya& , bergantung pada suatu kejadian yang belum tentu.  Demikian adalah : perjanjian pertanggungan, bunga cagak hidup, perjudian dan pertaruhan"

Bila dilihat dari tiga bentuk perjanjian yang dimaksud oleh pasal 1774 tersebut di atas, maka yang sangat mendekati bentuk adalah perjudian dan pertaruhan yang menurut pasal 1788 KUH Perdata tidak akan memberikan hak bagi kreditur yang timbul dari perjanjian tersebut untuk menagih pembayaran dari debitur sebagai pihak yang berkewajiban untuk melakukan pembayaran atas transaksi derivatif yang telah terjadi.

Artinya, bila transaksi derivatif tersebut memang benar dibuktikan secara hukum sebagai bentuk kegiatan perjudian ataupun pertaruhan, maka tentu saja pihak bank tidak akan dapat melakukan penuntutan bila nasabah yang mempunyai kewajiban untuk membayar sebagai akibat dari transaksi tersebut tidak bersedia untuk melaksanakan prestasinya dalam penyelesaian transaksi derivatif tersebut.

Begitu pula sebaliknya bila pihak bank wan prestasi yang tidak bersedia melakukan pembayaran atas nasabah tersebut. Dan malah bila dihubungkan dengan kausa dari suatu transaksi yang dimaksudkan oleh para pihak untuk berjudi, maka perjanjian tersebut akan batal demi hukum atas dasar kausa tidak halal serta juga merupakan tindak pidana.

Tags: