Aspek Yuridis Transaksi Derivatif di Indonesia (II)
Kolom

Aspek Yuridis Transaksi Derivatif di Indonesia (II)

1. Transaksi derivatif adalah upaya lindung nilai (hedging) atau manajemen resiko. Kausa dibedakan atas kausa subyektif dan kausa obyektif. Kausa subyektif adalah kausa ataupun sebab dari terjadinya suatu kontrak yang didasarkan oleh keinginan ataupun tujuan dari pihak yang berkontrak (subjek hukum tersebut). Sementara kausa obyektif adalah kausa yang didasarkan apa sebenarnya alasan hakiki yang mendasari (dasar prestasi) terjadinya transaksi yang diperjanjikan tersebut.

Bacaan 2 Menit

Pernyataan ini diartikan oleh  penggugat  sebagai suatu kesediaan dari bank untuk memberikan "fasilitas kredit"  sehubungan dengan transaksi derivatif tersebut, walaupun dalam  pernyataan di atas telah begitu jelas bahwa yang disetujui oleh bank tersebut adalah memberikan fasilitas/line untuk melakukan transaksi derivatif. Jadi, bukan perjanjian kredit  yang harus mewajibkan bank tersebut untuk mencairkan pinjaman senilai AS$30.000.000 seperti yang didalilkan  oleh penggugat tersebut untuk digunakan bertransaksi derivatif.

Akan tetapi, tampaknya penggugat (debitur)  sengaja untuk mengartikannya ke arah pengertian Perjanjian Kredit dengan dua tujuan. Pertama, dengan pemahaman perjanjian kredit, maka harus ada kewajiban dari bank untuk mencairkan pinjaman tersebut. Sehingga tidak dipenuhinya prestasi oleh penggugat oleh sebab tidak dicairkannya  pinjaman kredit tersebut, adalah merupakan alasan yang didukung oleh hukum perjanjian Indonesia (exception in adimpleti contractus).

Kedua, dengan pemahaman perjanjian kredit tersebut, penggugat ingin menggiring  bank untuk perbuatan yang dilarang oleh SK BI dalam pasal 6 ayat 2, yaitu larangan terhadap bank untuk memberikan fasilitas kredit dan cerukan (overdraft) untuk keperluan transaksi derivatif kepada nasabah. Bila berhasil, akan menjuruskan kepada perjanjian derivatif yang dibuat dengan kausa tidak halal yang akan berakibat  membatalkan perjanjian derivatif tersebut secara hukum.

Untunglah dalam kasus Peninjauan kembali (PK)  terhadap kasus permohonan pailit Bank Niaga (sindikasi) melawan Dharmala Agrifood Tbk, No. 2/PK/N/1999, majelis hakim PK tersebut memberikan jawaban bahwa  apa yang diberikan oleh bank selaku conterpart dari termohon pailit tersebut melakukan transaksi derivatif adalah fasilitas  untuk bertransaksi derivatif, bukan  fasilitas kredit.

Karena itu,  pemahaman hakim Majelis Kasasi yang menyatakan bahwa bank telah memberikan pinjaman kredit (cerukan) untuk transaksi derivatif tersebut adalah merupakan suatu kesalahan berat dalam penerapan hukum. Hal ini akan sangat memberikan  kelegaan dalam memahami pasal 6 SK BI no 28/119 tersebut.

Karena selain penjelasan hal tersebut telah dicantumkan dalam SE BI no28/15/UD,  putusan tersebut (walaupun Indonesia tidak mengenal prinsip  law of precedent), paling tidak putusan itu dapat memberikan pengertian pada hakim-hakim lainnya yang menangani kasus transaksi derivatif. Umumnya, para nasabah mendalilkan hal yang sama seperti yang didalilkan oleh termohon Dharmala Agrifood dalam kasus kepailitan di atas. 

Seperti pada putusan  majelis Kasasi MA terhadap kasus PT Surya Mas Duta Makmur melawan Bank Niaga, majelis hakim kasasi tersebut juga mendukung  putusan dari majelis hakim PK kasus Dharmala Agrifood tersebut. Majelis antara lain menyatakan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengganggap fasilitas bertransaksi derivatif sebagai fasilitas kredit sebagai suatu  putusan yang "sangat tidak wajar dan tidak berdasarkan hukum".

Halaman Selanjutnya:
Tags: