Pernyataan ini diartikan oleh penggugat sebagai suatu kesediaan dari bank untuk memberikan "fasilitas kredit" sehubungan dengan transaksi derivatif tersebut, walaupun dalam pernyataan di atas telah begitu jelas bahwa yang disetujui oleh bank tersebut adalah memberikan fasilitas/line untuk melakukan transaksi derivatif. Jadi, bukan perjanjian kredit yang harus mewajibkan bank tersebut untuk mencairkan pinjaman senilai AS$30.000.000 seperti yang didalilkan oleh penggugat tersebut untuk digunakan bertransaksi derivatif.
Akan tetapi, tampaknya penggugat (debitur) sengaja untuk mengartikannya ke arah pengertian Perjanjian Kredit dengan dua tujuan. Pertama, dengan pemahaman perjanjian kredit, maka harus ada kewajiban dari bank untuk mencairkan pinjaman tersebut. Sehingga tidak dipenuhinya prestasi oleh penggugat oleh sebab tidak dicairkannya pinjaman kredit tersebut, adalah merupakan alasan yang didukung oleh hukum perjanjian Indonesia (exception in adimpleti contractus).
Kedua, dengan pemahaman perjanjian kredit tersebut, penggugat ingin menggiring bank untuk perbuatan yang dilarang oleh SK BI dalam pasal 6 ayat 2, yaitu larangan terhadap bank untuk memberikan fasilitas kredit dan cerukan (overdraft) untuk keperluan transaksi derivatif kepada nasabah. Bila berhasil, akan menjuruskan kepada perjanjian derivatif yang dibuat dengan kausa tidak halal yang akan berakibat membatalkan perjanjian derivatif tersebut secara hukum.
Untunglah dalam kasus Peninjauan kembali (PK) terhadap kasus permohonan pailit Bank Niaga (sindikasi) melawan Dharmala Agrifood Tbk, No. 2/PK/N/1999, majelis hakim PK tersebut memberikan jawaban bahwa apa yang diberikan oleh bank selaku conterpart dari termohon pailit tersebut melakukan transaksi derivatif adalah fasilitas untuk bertransaksi derivatif, bukan fasilitas kredit.
Karena itu, pemahaman hakim Majelis Kasasi yang menyatakan bahwa bank telah memberikan pinjaman kredit (cerukan) untuk transaksi derivatif tersebut adalah merupakan suatu kesalahan berat dalam penerapan hukum. Hal ini akan sangat memberikan kelegaan dalam memahami pasal 6 SK BI no 28/119 tersebut.
Karena selain penjelasan hal tersebut telah dicantumkan dalam SE BI no28/15/UD, putusan tersebut (walaupun Indonesia tidak mengenal prinsip law of precedent), paling tidak putusan itu dapat memberikan pengertian pada hakim-hakim lainnya yang menangani kasus transaksi derivatif. Umumnya, para nasabah mendalilkan hal yang sama seperti yang didalilkan oleh termohon Dharmala Agrifood dalam kasus kepailitan di atas.
Seperti pada putusan majelis Kasasi MA terhadap kasus PT Surya Mas Duta Makmur melawan Bank Niaga, majelis hakim kasasi tersebut juga mendukung putusan dari majelis hakim PK kasus Dharmala Agrifood tersebut. Majelis antara lain menyatakan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengganggap fasilitas bertransaksi derivatif sebagai fasilitas kredit sebagai suatu putusan yang "sangat tidak wajar dan tidak berdasarkan hukum".