Aturan Perlindungan Konsumen Belum Ampuh Jawab Permasalahan di Era Digital
Utama

Aturan Perlindungan Konsumen Belum Ampuh Jawab Permasalahan di Era Digital

UU Perlindungan Konsumen dianggap belum mampu mengakomodir permasalahan masyarakat dalam bertransaksi digital. Perlu segera direvisi agar kerugian masyarakat sebagai konsumen tidak semakin besar.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Acara diskusi
Acara diskusi "Dinamika Transaksi di Era Ekonomi Digital". Foto: MJR

Ragam pengaduan atau keluhan konsumen terhadap produk barang dan jasa terus meningkat seiring perkembangan bisnis di Indonesia. Mulai dari permasalahan tiket pesawat atau biro perjalanan, perumahan, layanan kesehatan hingga jajanan anak menjadi persoalan paling sering timbul sehubungan pengaduan konsumen. Di tambah lagi, pengaduan sehubungan digital ekonomi seperti e-commerce (perdagangan elektronik) dan pinjaman online (financial technology atau fintech) juga menjadi sorotan publik akhir-akhir ini.

 

Payung hukum yang memberikan perlindungan konsumen terdapat dalam Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Sayangnya, UU yang lahir 20 tahun lalu tersebut dianggap belum mampu mengakomodir permasalahan konsumen di era digital ini. Sebab, salah satu karakter transaksi online ini dapat dilakukan lintas batas sehingga perlu diatur proses penyelesaian sengketanya.

 

Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Ardiansyah Parman, mendesak agar UUPK tersebut segera direvisi. Dia mengkhawatirkan apabila tidak segera direvisi maka kerugian konsumen akan terus bertambah dalam bertransaksi secara digital.

 

“Integritas perlindungan konsumen dapat terwujud bila RUU PK yang tengah disusun mampu mengakomodir sebesar-besarnya konsekuensi dari dinamika transaksi secara berkeadilan dan konstruktif termasuk dan terutama dinamika transaksi berbasis ekonomi digital. Sejatinya, ekonomi digital bukan hanya e-commerce, di masa depan ekonomi digital perpaduan antara big data, connectivity (keterhubungan) dan artificial intelligent (kecerdasan buatan),” jelas Ardiansyah, Selasa (2/7).

 

Dia menambahkan perlindungan konsumen menjadi syarat daya saing ekonomi. Sehingga, aspek perlindungan konsumen harus diperkuat dalam transaksi online tersebut untuk menciptakan rasa kepercayaan pada masyarakat. Sebab, tanpa perlindungan konsumen yang kuat maka berisiko menimbulkan permasalahan baru yang lebih luas.

 

“UU PK harus jawab permasalahan 20-30 tahun ke depan. Apalagi di era digital, data pribadi wajib dilindungi karena tren bisnis kedepan memanfaatkan big data, artifical intelligent dan connectivity,” jelas Ardiansyah.

 

(Baca Juga: Dua Persoalan Ini Dinilai Hambat Perkembangan Industri Digital)

 

Ardiansyah mencontohkan dalam pemanfaatan teknologi big data, pelaku usaha dapat membangun produk-produk baru yang berisiko membentuk pengendalian pasar secara mutlak. Sehingga, terdapat kecenderungan pemilik industri big data membentuk dinamika ekonomi yang mengarah monopolistik. Hal ini akan berdampak hilangnya kedaulatan konsumen dalam memperoleh hak-haknya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait