Bacakan Pledoi, Akil Bongkar “Aib” Pimpinan KPK
Berita

Bacakan Pledoi, Akil Bongkar “Aib” Pimpinan KPK

Akil minta dibebaskan dari segala dakwaan.

Oleh:
NOV
Bacaan 2 Menit
Mantan Ketua MK Akil Mochtar. Foto: RES.
Mantan Ketua MK Akil Mochtar. Foto: RES.
Tak terima dituntut seumur hidup, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) M Akil Mochtar membongkar “aib” salah seorang pimpinan KPK, Bambang Widjojanto saat membacakan nota pembelaan (pledoi) pribadi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (23/6). Akil mengatakan, semua orang, sekalipun pimpinan KPK bukan manusia sempurna.

Akil mengungkapkan, dalam memperoleh jabatan sebagai pimpinan KPK, Bambang pernah meminta bantuannya untuk melobi fraksi-fraksi di DPR. Bambang juga pernah menikmati fasilitas yang diberikan Akil saat Akil mengatur pertemuan Bambang dengan para anggota DPR di Restauran Nippon-Kan di Hotel Sultan.

“Saudara Bambang Widjojanto bahkan menumpang mobil dinas saya selaku hakim MK sampai Pasar Minggu. Dalam perjalanan tersebut, Bambang Widjojanto berulang kali meminta bantuan saya selaku hakim, sehubungan dengan perkara Pemilukada Kabupaten Kotawaringin Barat yang sedang ditanganinya,” katanya.

Kemudian, Akil menyebut Bambang pernah bertemu Ketua MK Mahfud MD saat kasus Cicak vs Buaya. Bambang yang ketika itu menjadi kuasa hukum Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah bertemu Mahfud untuk membicarakan perkara pengujian UU KPK. “Ini sekaligus menunjukan kita bukan malaikat,” ujarnya.

Sebelumnya, Bambang sudah membantah tudingan Akil tersebut. “Saya tidak pernah melakukan hal-hal yang tidak pantas untuk dilakukan. Apalagi dibayari makan-makan. Silakan dibuktikan,” kata Bambang melalui pesan singkat beberapa waktu lalu.

Akil juga menyindir para pimpinan KPK yang secara “ugal-ugalan” menyampaikan statement dengan mengabaikan proses hukum. Ia menganggap pimpinan KPK menghina pengadilan. Selayaknya pengadilan jalanan, pimpinan KPK meminta pendapat kepada masyarakat mengenai berapa sebaiknya tuntutan Akil.

Padahal, menurut Akil, seharusnya suatu tuntutan dijatuhkan berdasarkan fakta-fakta di persidangan. Opini pimpinan KPK sangat tidak objektif, sehingga berpotensi mempengaruhi persidangan. “Nyata bahwa tuntutan diajukan kepada saya memang benar adalah balas dendam dan mencari popularitas,” tuturnya.

Walau begitu, Akil meyakini majelis hakim tetap independen dan tidak terpengaruh dengan upaya penggalangan opini yang dilakukan pimpinan KPK. Ia berharap majelis akan menjatuhkan vonis sesuai porsi dan kesalahannya. Ia mempercayai, setiap orang harus bertanggung jawab terhadap kesalahan yang dilakukannya.

Sebaliknya, seseorang tidak bisa dihukum atas perbuatan yang tidak dilakukannya. Dalam perkara pengurusan sengketa Pilkada Gunung Mas misalnya. Akil mengungkapkan, tidak ada satupun fakta yang menunjukan adanya penerimaan hadiah berupa uang, baik dari keterangan saksi Chairun Nisa maupun Cornelis Nalau Antun.

Menurut Akil, penyitaan uang dari Cornelis membuktikan bahwa uang tersebut masih dikuasai Cornelis. Sesuai keterangan ahli Chairul Huda, penerimaan itu baru selesai jika hadiah dikuasai secara fisik dan yuridis oleh penerima. Keterangan ini menguatkan belum adanya penerimaan hadiah Rp3 miliar yang diterima Akil.

Begitu pula untuk penerimaan uang Rp1 miliar dalam pengurusan sengketa Pilkada Lebak. Akil mengungkapkan, sesuai keterangan saksi Susi Tur Andayani dan Tubagus Chaeri Wardana, keduanya tidak pernah mengantarkan atau menyerahkan uang Rp1 miliar kepada Akil. Uang itu berada di kediaman orang tua Susi di Tebet.

Selanjutnya, mengenai penerimaan uang Rp10 miliar dan AS$500 rbu terkait Pilkada Empat Lawang. Akil menyatakan, tidak pernah terbukti di persidangan bahwa ada pemberian uang Rp10 miliar dan AS$500 rbu dari saksi Budi Antoni Aljufri, Suzana, dan Muhtar Ependy. Saksi Daryono juga mengungkapkan hanya menerima dus berisi pempek.

Mengenai penerimaan hadiah Rp1 miliar dari Samsu Umar Abdul Samiun dalam pengurusan sengketa Pilkada Buton, Akil menganggap tidak terbukti. Ia menjelaskan, sesuai keterangan saksi Samsu Umar, permintaan uang itu datang dari Arbab Paproeka, sedangkan penuntut umum tidak pernah menghadirkan Arbab sebagai saksi.

Selain itu, terkait penerimaan uang Rp1 miliar, Rp7,5 miliar, Rp19,866 miliar, Rp500 juta, Rp10 miliar, Rp1,8 miliar, dan Rp125 juta, masing-masing dalam penanganan sengketa Pilkada Morotai, Banten, Palembang, Lampung Selatan, Jawa timur, Tapanuli Tengah, dan Pilkada di beberapa kabupaten di Papua, Akil menganggap tidak terbukti.

Sama halnya dengan dakwaan tindak pidana pencucian. Akil menegaskan, harta kekayaan yang ia digunakan untuk membeli sejumlah aset bukan berasal dari korupsi. Akil juga tidak pernah berupaya menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga bersumber dari tindak pidana.

Adapun transfer uang yang diterima CV Ratu Samagat milik istri Akil, tidak ada hubungannya dengan kedudukan Akil selaku hakim MK. Sesuai keterangan para saksi, transfer-transfer ke rekening CV Ratu Samagat berkaitan dengan kerja sama atau bisnis CV Ratu Samagat. Tidak ada sangkut pautnya dengan Pilkada.

Akil menerangkan, CV Ratu Samagat merupakan entitas hukum tersendiri. Bukan berarti setiap transfer uang yang diterima CV Ratu Samagat lantas diartikan sebagai penerimaan Akil. Ia menegaskan, tidak pernah menerima uang melalui CV Ratu Samagat, apalagi memerintahkan untuk menransfer uang ke CV Ratu Samagat.

Terkait aset-aset seperti mobil, tanah, rumah, dan sebagainya, Akil menyatakan, perolehan itu bukan merupakan hasil tindak pidana korupsi. Aset-aset tersebut diperoleh dengan menggunakan uang hasil jerih payah Akil. Ada pula sejumlah aset yang diperoleh Akil jauh sebelum Akil menjadi anggota DPR maupun hakim MK.

Dengan demikian, Akil meminta majelis hakim menyatakan dirinya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah. Akil meminta majelis membebaskannya dari segala dakwaan. Selain itu, Akil meminta majelis memerintahkan penuntut umum untuk mengembalikan harta-harta yang tidak terbukti berkaitan dengan dakwaan.

Sebelumnya, Akil dituntut seumur hidup oleh penuntut umum KPK. Akil dianggap terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Akil dinilai terbukti menerima uang sejumlah Rp47,78 miliar plus AS$500 ribu dari sejumlah pihak terkait sengketa Pilkada di MK. Akil juga dianggap menerima janji Rp10 miliar terkait Pilkada Jawa Timur.
Tags:

Berita Terkait