Jaksa KPK Ingatkan Akil tentang Potong Jari
Berita

Jaksa KPK Ingatkan Akil tentang Potong Jari

Akil tak menyesali dan tak mengakui perbuatan yang dituduhkan kepada dirinya.

ANT
Bacaan 2 Menit
Suasana sidang pembacaan tuntutan terhadap terdakwa kasus korupsi penanganan sembilan sengketa pilkada M Akil Mochtar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (16/6). Foto: RES.
Suasana sidang pembacaan tuntutan terhadap terdakwa kasus korupsi penanganan sembilan sengketa pilkada M Akil Mochtar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (16/6). Foto: RES.
Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pulung Rinandoro, dalam tuntutannya, mengingatkan terdakwa suap dan korupsi Akil Mochtar terkait pernyataan potong jari yang pernah diutarakannya.

"Publik tentunya masih ingat apa yang diucapkan terdakwa di MK pada tanggal 9 Maret 2012 yang menyatakan: 'Ide saya dibanding dihukum mati lebih baik dikombinasi pemiskinan dan memotong salah satu jari tangan koruptor saja cukup'," ujarnya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (16/6).

Pulung mengatakan penuntut umum KPK menilai bahwa Akil dikenal sebagai praktisi hukum sekaligus doktor di bidang ilmu hukum serta sebagai pegiat antikotupsi yang pernah melontarkan gagasan konsep pemberian hukuman kombinasi antara pemiskinan dan potong salah satu jari tangan bagi pelaku tindak pidana korupsi.

Sehingga, dengan latar belakang keilmuan Akil yang mendekati paripurna, publik menaruh harapan besar pada Akil agar menjalankan tugas selaku hakim dan ketua MK RI dengan berintegritas.

"Terdakwa sebagai seorang hakim sekaligus Ketua MK tidak menjaga amanah dengan melakukan kecurangan penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang yang ada pada dirinya serta menafikkan moralitas yang tinggi yang seharusnya ada pada diri terdakwa," tambah Pulung.

Sebagai informasi, Akil dituntut pidana penjara seumur hidup karena perbuatan dalam penanganan sembilan sengketa pilkada di MK. Akil menerima Rp63,315 miliar sebagai hadiah terkait pengurusan 9 sengketa pilkada di MK, Rp10 miliar dalam bentuk janji untuk satu sengketa pilkada.

Penuntut Umum KPK tidak menemukan alasan meringankan bagi Akil. Sedangkan, alasan yang memberatkan –di antaranya- adalah Akil merupakan ketua lembaga tinggi negara (MK) yang merupakan ujung tombak dan benteng terakhir bagi masyarakat dalan keadilan dan perbuatannya itu mengakibatkan runtuhnya kewibawaan lembaga MK sebagai benteng terakhir penegakan hukum.

Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) juga meminta agar Akil dituntut penjara seumur hidup. Hukuman penjara seumur hidup untuk tindakan tidak terpuji Akil Mochtar wajar diberikan dengan sejumlah alasan. Pertama, Akil telah merusak proses demokrasi dengan melakukan proses suap menyuap dalam penanganan sengketa pilkada. Kedua, Akil telah meruntuhkan keperayaan publik terhadap institusi Mahkamah Konstitusi.

Ketiga, tuntutan seumur hidup dapat memberikan efek jera terhadap pelaku dan peringatan bagi para pimpinan institusi atau lembaga yang lain. Keempat, Akil dinilai tidak bersikap kooperatif dan tidak sopan dalam proses persidangan. Kelima, tindakan korupsi dan pencucian yang yang dilakukan masuk kategori luar biasa.

Keenam, kapasitas Akul sebagai orang yang paham hukum, sebagai seorang doktor hukum, advokat, penegak hukum dan mantan pimpinan Komisi Hukum di DPR.

Sementara, usai sidang, Akil mengaku tidak kaget dengan tuntutan seumur hidup ini. "Sudah enggak kaget, cuma yang kaget itu enggak ada hal yang meringankan. Berarti anda semua lebih bermanfaat dari pada saya. Walaupun saya juga pernah berjasa untuk republik ini," katanya.

"Kan yang saya dengar itu tidak ada hal-hal yang meringankan buat saya, itu enggak ada. Hal yang meringakan itu tidak ada sama sekali, berarti anda itu tidak bermafaat sama sekali buat bangsa dan negara," tambah Akil.

Namun, Akil tidak mengakui maupun menyesali perbuatan yang dituntut kepadanya.

"Saya enggak perlu menyesal kalau yang saya tidak lakukan, tapi kalau yang saya lakukan saya menyesal. Perkara pidana itu kan harus disesuaikan dengan fakta yang ada. Kalau faktanya kita enggak lakukan, kenapa kita harus mengakui?" pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait