​​​​​​​Bahasa Hukum Indonesia: Setelah 45 Tahun Simposium Medan-Parapat
Potret Kamus Hukum Indonesia

​​​​​​​Bahasa Hukum Indonesia: Setelah 45 Tahun Simposium Medan-Parapat

Bahasa hukum sudah mendapat perhatian kalangan ahli bahasa dan ahli hukum sejak 1970-an. Lambat laun makin hilang?

Muhammad Yasin/RFQ/NEE
Bacaan 2 Menit
​​​​​​​Bahasa Hukum Indonesia: Setelah 45 Tahun Simposium Medan-Parapat
Hukumonline

Bagi yang sering berkunjung ke Medan, Sumatera Utara, cobalah sesekali datang ke rumah peninggalan Tjong A Fie di Jalan A. Yani, kawasan Kesawan. Di dalam dinding rumah yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya itu ada sebuah bingkai tentang testamen dalam bahasa Belanda. Seperti terbaca dari testamen itu, pada 20 Oktober 1920 telah datang menghadap Dirk Johan Toeqin de Grave, notaris di Medan, seseorang bernama, Tjong A Fie, mayoor der Chineezen, meminta dicatatkan isi wasiatnya. Isi testamen Tjong A Fie dapat dibaca setiap pengunjung yang datang.

 

Testamen, salah satu istilah yang dikenal dalam hukum pewarisan, lebih dipahami banyak orang sebagai wasiat, yaitu suatu pernyataan dari seseorang tentang apa yang dokehendaki setelah ia meninggal dunia. Testamen bersifat satu pihak, dalam arti dikeluarkan oleh orang dan sewaktu-waktu dapat ditarik ketika ia masih hidup. Pasal 874 Burgerlijk Wetboek (BW) mengatur apa yang dimaksud testamen, dan dari sana dapat dilihat syaratnya. Intinya, isi testamen tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Umumnya, suatu testamen berisi apa yang disebut dengan istilah erfstelling, yakni penunjukan seseorang atau beberapa orang sebagai ahli waris yang berhak atas harta waris. Orang yang ditunjuk sebagai ahli waris dalam wasiat itu disebut testamentaire erfgenaam (ahli waris yang ditunjuk berdasarkan wasiat).

 

Kisah tentang testamen Tjong A Fie di Medan bukan hanya mendorong pertanyaan tentang arti kata ‘testamen’ dan sosok Tjong A Fie, tetapi juga mengingatkan betapa pentingnya peran kota Medan dalam perkembangan bahasa hukum di Indonesia. Di Medan pula pada awal 1943 berdiri Lembaga Bahasa Indonesia. Dari kota ini pula –dan kota Parapat di pinggir Danau Toba, pernah menjadi saksi hidup berkumpulnya para ahli hukum dan ahli bahasa dalam Simposium Bahasa dan Hukum.

 

Akademisi yang pernah memimpin Konsorsium Ilmu Hukum, Mardjono Reksodiputro, masih mengingat seminar bahasa dan hukum itu, dan menganggapnya sebagai salah satu tonggak awal perhatian dan perkembangan bahasa hukum di Indonesia. Sejak saat itulah semangat mengembangkan bahasa hukum Indonesia tumbuh berkembang. “Yang saya ingat paling awal adalah seminar bahasa dan hukum di Medan dan Parapat,” ujarnya kepada hukumonline, 17 Juli lalu.

 

Berlangsung pada 25-27 Oktober 1974 Simposium Bahasa dan Hukum menjadi forum perhatian kalangan bahasa dan hukum pada bahasa hukum. Simposium menyepakati bahwa bahasa hukum adalah bahasa Indonesia yang dipergunakan dalam bidang hukum, dan karena fungsinya mempunyai karakters tersendiri. Karakter bahasa hukum terlepat pada kekhususan istilah, komposisi, dan gaya bahasanya. Simposium juga menyarankan untuk mengambil langkah-langkah. Pertama, melakukan inventarisasi istilah hukum dan pepatah yang telah ada maupun yang sedang dikumpulkan, baik oleh lembaga pemerintah maupun yang dilakukan perorangan. Kedua, melakukan usaha pembakuan atau standarisasi istilah-istilah hukum yang telah ada. Ketiga, melakukan penciptaan istilah-istilah hukum baru.

 

Prof. Mahadi, Guru Besar Fakultas Hukum USU, termasuk yang jadi pembicara dalam simposium itu. Mahadi menyampaikan bahwa bahasa hukum sudah hidup dalam pepatah yang hidup dalam masyarakat, khususnya di Sumatera Utara, sebagaimana dipakai dalam bidang waris, perkawinan, perikatan, warisan, hukum tanah, hukum tata negara, dan hukum perdata internasional. Mahadi adalah salah seorang tokoh hukum yang ikut terlibat dalam pembuatan terjemahan resmi KUHP.

 

Baca juga:

 

Setelah Simposium Bahasa dan Hukum di Medan, Badan Pembinaan Hukum Nasional memulai program berkelanjutan untuk mendukung pembinaan dan pengembangan bahasa hukum. Pada pertengaha 1977, misalnya, BPHN menugaskan Mahadi dan seorang ahli bahasa dari Medan, Sabaruddin Ahmad, untuk menuliskan karya ilmiah tentang bahasa hukum. Hasil karya kedua akademisi ini adalah terbitnya Pembinaan Bahasa Hukum Indonesia. Selain itu, untuk menopang pengembangan bahasa hukum, disusunlah istilah-istilah hukum dan kamus hukum, hasil kerjasama BPHN dan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

 

Seolah mengenang seminar bahasa dan hukum itu, pada 13 Maret lalu, Komisi Yudisial menggelar sesi diskusi bahasa hukum dengan wartawan lokal, terutama mendiskusikan kesalahan-kesalahan dalam penulisan karya jurnalistik hukum. Meskipun diskusi sederhana dalam rangka sinergitas Komisi Yudisial dengan media massa, langkah Komisi Yudisial itu memompa kembali perhatian terhadap bahasa hukum yang pernah begitu massif pada dekade 1980-an.

 

Pada dekade 1980-an puluhan karya tulis dihasilkan, berfokus pada bahasa hukum baik secara teoritis maupun praktek di pengadilan, notaris, dan bahasa perundang-undangan. Profesor Mardjono mengenang Badan Pembinaan Hukum Nasional intensif melakukan kajian-kajian dengan melibatkan akademisi. Salah satu yang dihasilkan ada kamus hukum. Bahkan untuk mengisi kekosongan literatur bahasa hukum, penerbit Binacipta Bandung menerjemahkan kamus hukum Fockema Andreae yang terkenal. Ada juga penyusunan istilah-istilah hukum dalam bahasa Belanda ke dalam bahasa Indonesia. “Seingat saya ada komisi khusus untuk menerjemahkan,” ujarnya seraya menyebut BPHN masih bernama LPHN dan berlokasi di gedung yang tak jauh dari gedung Bina Graha Jakarta.

 

Laras bahasa hukum

Kajian yang sangat komprehensif mengenai bahasa hukum adalah disertasi Ab Massier di Universitas Leiden. Beberapa akademisi Indonesia juga menulis buku tentang bahasa hukum, misalnya Hilman Hadikusuma (Bahasa Hukum Indonesia), Junaiyah H. Matanggui (Bahasa Indonesia untuk Bidang Hukum dan Peraturan Perundang-Undangan), dan Lilis Hartini (Bahasa dan Produk Hukum).

 

Gregory Churchill, Indonesianis yang banyak melakukan kajian tentang akses terhadap informasi dan dokumentasi hukum, pernah menyusun sebuah tulisan di jurnal Jentera (edisi 1/Agustus 2002). Ia memperlihatkan pengaruh beragam sistem hukum ke dalam bahasa hukum di Indonesia. Istilah ‘kemitraan’ dari bahasa Sanskerta, ‘zakat’ dari hukum Islam, ‘per diem’ dari bahasa Latin, istilah ‘class action’ dari sistem hukum Amerika Serikat, dan banyak istilah yang diserap dan diterjemahkan dari bahasa Belanda.

 

Menurut Lilis Hartini, salah satu problem yang dikeluhkan selama ini adalah sulitnya orang awam memahami bahasa hukum. Komunitas hukum menganggap mereka punya bahasa dan istilah-istilah khusus yang berbeda dari orang kebanyakan. Dosen Sekolah Tinggi Hukum Bandung (STHB) ini melihat hingga kini masih ada jurang antara komunitas hukum dan masyarakat umum pengguna bahasa. Mestinya, kata dia, komunitas hukum pun harus tunduk pada standarisasi berbahasa Indonesia sebagaimana diamanatkan UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan.

 

Komunitas hukum menganggap punya bahasa khas antara lain karena satu kata bisa dimaknai berbeda. Seorang advokat dan jaksa bisa mempunyai penafsiran terhadap materi muatan suatu Undang-Undang. Namun, Lilis mempertanyakan kekhasan bahasa hukum dimaksud. “Di situ, ada peluang bahasa dipolitisasi,” ujarnya dalam wawancara dengan hukumonline di Bandung, 17 Juli lalu.

 

Mengubah bahasa hukum yang sudah lazim dipakai aparat penegak hukum Indonesia memang tidak mudah. Sebut misalnya penggunaan kata ‘bahwa’ dalam setiap putusan hakim. Dilihat dari tata cara penulisan bahasa Indonesia yang baik dan benar, mengawali kalimat dengan kata ‘bahwa’ dianggap kurang pas. Hal yang sama terjadi pada profesi notaris, yang mempunyai bahasa tersendiri, warisan dari notaris era Hindia Belanda. Model bahasa untuk bidang tertentu inilah yang lazim disebut laras bahasa.

 

Baca juga:

 

Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) pernah melakukan evaluasi terhadap bahasa hukum setelah 25 tahun Simposium Bahasa dan Hukum di Medan-Parapat. Seminar Hukum Nasional II di Surabaya (1974) juga telah menegaskan bahwa keadaan dan pemakaian bahasa Indonesia di bidang hukum belum dapat menunjukkan ‘kemantapan’. Analisis dan evaluasi oleh BPHN tersebut dalam rangka meningkatkan ‘kemantapan’ bahasa Indonesia hukum. Ada tiga kesimpulan dari analisis dan evaluasi itu.

 

Pertama, upaya pembinaan bahasa hukum yang telah dimulai dari Simposium Medan-Parapat perlu terus dilakukan karena tidak terpisahkan dari pembangunan hukum. Kedua, penggunaan bahasa hukum yang tunduk pada kaidah bahasa Indonesia baku belum tampak pada sebagian produk hukum yang baik dalam bahasa perundang-undangan, dalam praktek hukum (bahasa notaris dan putusan pengadilan), serta penulisan ilmu hukum dan pendidikan hukum. Ketiga, kesalahan umum yang muncul pada tulisan-tulisan produk hukum adalah karena penulis tidak memperhatikan penulisan kata sesuai Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) dan penggunaan tanda baca.

 

Hampir 25 tahun setelah analisis dan evaluasi BPHN itu, Lilis melihat masih ada yang miss dalam penggunaan bahasa hukum. Memang, ada perkembangan menarik dalam hal penggunaan bahasa Indonesia untuk istilah-istilah hukum meskipun istilah berbahasa Belanda masih banyak dipakai. Kini, istilah berbahasa Inggris pun semakin banyak diadopsi ke dalam bahasa hukum di Indonesia. “Pembenaran bahasa hukum itu karena bahasa Indonesia tidak terlalu kaya (istilah hukum),” ujarnya.

 

Bahasa hukum perundang-undangan

Kongres Bahasa Indonesia X yang berlangsung pada Oktober 2018 menghasilkan puluhan rekomendasi. Salah satu yang relevan adalah permintaan peserta kongres agar ketentuan tentang bahasa dalam UU No. 24 Tahun 2009 ditegakkan oleh aparat penegak hukum. Kongres ini tidak lagi secara spesifik menggaungkan bahasa hukum. “Perlu ada sanksi tegas bagi pihak yang melanggar Pasal 36 dan Pasal 38 UU No. 24 Tahun 2009 sehubungan dengan kewajiban menggunakan bahasa Indonesia untuk nama dan media informasi yang merupakan pelayanan umum,” demikian salah satu poin rekomendasi.

 

Meskipun demikian, Pemerintah dan DPR sudah membuat panduan penggunaan bahasa Indonesia dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, termasuk pilihan kata. Bahasa dalam peraturan perundang-undangan tetap tunduk pada kaidah tata bahasa Indonesia, baik aturan pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan maupun pengejaannya.

 

Selain itu, ada banyak ciri bahasa peraturan perundang-undangan, misalnya, lugas dan pasti untuk menghindari kesamaan arti atau kerancuan. Contoh yang paling pas untuk menggambarkan ini adalah penerjemahkan istilah bezitter dan eigenar dalam hukum perdata. Jika tak memahami filosofinya, sangat mungkin orang mengartikan kedua kata itu sebagai pemilik. Ciri lain adalah bercorak hemat, dalam arti hanya kaya yang diperlukan yang dipakai; membakukan makna kata, ungkapan atau istilah  yang digunakan secara konsisten; dan memberikan definisi atau batasan pengertian secara cermat.

 

Dalam pilihan kata atau istilah, bahasa hukum Indonesia juga sudah memiliki beberapa pola baku. Misalnya, untuk menyatakan pengertian maksimum dan minimum ancaman pidana atau batasan waktu, maka dipakai kata ‘paling’. Frasa ‘paling singkat’ atau ‘paling lama’ dipakai untuk menyatakan jangka waktu; sedangkan frasa ‘ paling lambat’ atau ‘paling cepat’ jika ingin menyatakan batas waktu.

 

Mengubah kebiasaan penggunaan bahasa hukum sejak era Hindia Belanda, termasuk format dokumen-dokumen hukum, memang bukan pekerjaan mudah. Tetapi perubahan secara perlahan perlu dilakukan. Untuk melakukan itu, kerjasama komunitas hukum dan komunitas bahasa mutlak diperlukan. Lilis Hartini mengusulkan antara lain penggunaan semiotika untuk menafsir hukum. Pendekatan ini juga pernah diajukan Prof. Sutandyo Wignyosubroto.

 

Kurangnya perhatian pada bahasa hukum baik pada Seminar Hukum Nasional maupun Kongres Bahasa Indonesia beberapa waktu belakangan, memperlihatkan semangat yang tak sejalan dengan Simposium Bahasa dan Hukum di Medan-Parapat, 45 tahun silam.

Tags:

Berita Terkait