Baleg Belum 'Sreg' Draf RUU Minuman Beralkohol
Berita

Baleg Belum 'Sreg' Draf RUU Minuman Beralkohol

Masih sebatas pengaturan pendistribusian dan izin, tapi minim perlindungan bagi masyarakat.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Baleg Belum 'Sreg' Draf RUU Minuman Beralkohol
Hukumonline

Sejumlah anggota Badan Legislasi (Baleg) DPRtidak ‘sreg’ dengan isi draf RUU tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol. Menurut mereka isi draf masih sebatas mengatur pendistribusian dan perizinan peredaran minuman beralkoholsemata. Karena itu, Baleg meminta tim ahli Baleg segera memperbaiki draf RUU ini.

Anggota Baleg Indra mengatakan semestinya RUU setelah disahkan menjadi undang-undang, menjadi payung hukum dan alat untuk melindungi masyarakat atas maraknya peredaran minuman beralkohol. Namun, setelah membaca draf RUU, Indra berpendapat malah lebih banyak muatan bisnis.

“Memang ada sanksi-sanksi administrasi. Tapi jangan sampai RUU ini mereduksi semangat di daerah,” ujarnya di ruang Baleg DPR, Kamis (30/5).

Di berbagai daerah memang sempat terjadi polemik pencabutan Perda tentang Pengaturan Peredaran Miras. Karena itu, Indra memaparkan adanya RUU Pengendalian Minuman Beralkohol, semestinya dapat memperkuat Perda yang dimaksud, bukan sebaliknya. Menurutnya, RUU ini bukan untuk melegalkan peredaran miras.

“Sebagai negara yang terbuka, jangan sampai dengan RUU ini,peredaran minuman beralkohol makin mudah. Contoh sederhana, ini marak beredar di supermarket. Kalau Perda itu justru melarang, tapi kenapa draf ini seolah melegalkan. Saya melihat ini kontradiktif,” ujar politisi Partai Keadilan Sejahtera itu.

Atas dasar itulah Indra mengusulkan agar draf tersebut segera diperbaiki. Jika tidak, Indra khawatir masyarakat akan menilai Baleg menjadi pintu masuk meluasnya bisnis minuman beralkohol. “Harusnya konsepnya itu minuman beralkohol itu berbahaya dan dilarang. Ini harus dipotret,” imbuhnya.

Pandangan serupa muncul dari anggota Baleg lain Azhar Romli. Selain minuman beralkohol modern, ia menyoroti peredaran minuman keras (miras) tradisional.

Menurutnya, miras tradisional seperti tuak kian banyak beredar di masyarakat. Meskipun tuak kerap menjadi suatu budaya di daerah tertentu, setidaknya diperlukan pengawasan ketat.

“Kalau tidak diatur dan berkedok minuman tradisional ini akan berbahaya. Justru harus ketat dan ada pengawasan, harus ada izin,” ujarnya.

Anggota Komisi II itu mengusulkan adanya pihak yang diberikan kewenangan khusus untuk memberikan izin peredaran miras. Pasalnya ia khawatir, banyaknya pedagang miras tradisional ‘bermain’ dengan aparat terkait jumlah miras yang beredar di masyarakat.

Azhar berpendapat peredaran miras tidak boleh bebas. Misalnya memberikan pengetatan produksi miras tradisional dan modern. “Intinya kita melindungi masyarakat dari minuman beralkohol dan miras,” ujar politisi Partai Golkar itu.

Ketua Baleg Ignatius Mulyono mengamini pandangan Indra dan Azhar. Menurutnya, roh dari RUU ini adalah miras berbahaya. Menurutnya isi draf masih sebatas mengatur persoalan produksi, izin dan pengaturan peredaran.

Semestinya isi draf lebih mengedepankan perlindungan, dan tidak hanya sebatas pengendalian miras. “Disusun karena ingin melindungi masyarakat luas. Meskipun kepentingan budaya juga dilindungi, tapi juga harus diatur dan dibatasi,” ujarnya.

Lebih jauh politisi Partai Demokrat itu mengkritikisi draf. Pasalnya penyusunan redaksional masih terkesan belum runut. Misalnya pada Pasal 3. Menurutnya, hal utama adalah perlindungan, penyadaran dan pengendalian.

Perubahan penyusunan paradigma multak dilakukan. Pasalnya Baleg ingin menunjukan sikap akan bahaya minuman beralkohol dan menyadarkan masyarakat. “Jadi draf ini memang perlu diperbaiki terlebih dahulu, harus tegas dan jelas isi draf ini,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait