Batal Menikah, MK Diminta Melegalkan Kawin Beda Agama
Utama

Batal Menikah, MK Diminta Melegalkan Kawin Beda Agama

Pemohon meminta MK menafsirkan agar Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan membuka peluang kawin beda agama yang didasarkan pada kehendak bebas kedua calon mempelai.

Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit

Akan tetapi, hal ini terjadi karena negara memfasilitasi terjadinya pelanggaran-pelanggaran itu dengan menjadikan sahnya perkawinan ini ditentukan oleh golongan atau ajaran agama yang dianut kedua belah pihak. Bukan menjadi preferensi atau hak dari individu kedua mempelai untuk memilih bagaimana perkawinan mereka hendak dilangsungkan.

“Untuk mempertahankan atau menundukan keyakinaan sepenuhnya diberikan hak kepada mereka untuk memilih, bukan menjadi hak golongan atau instansi yang dimediasi oleh negara menghakimi bentuk kerohanian atau keagamaan yang harus dianut dalam perkawinan ini,” dalih Pemohon.

Menurut Pemohon, Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan telah memediasi adanya intervensi golongan agama untuk memaksakan kehendak dengan menjadikan hukum agama dan kepercayaan masing-masing sebagai syarat keabsahan perkawinan yang secara nyata menciderai HAM yang dilindungi Pasal 28E ayat (1) dan (2) UUD Tahun 1945.

Selain itu, Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan dapat dikatakan sebagai pasal yang mencerminkan bahwa negara telah mengintervensi atau mencampuradukkan perihal administrasi dengan pelaksanaan ajaran agama karena telah melanggar kebebasan internal individu untuk memiliki kebebasan berpikir, berkata sesuai hati nurani, dan beragama.

Baginya, hak untuk memilih pasangan hidup merupakan kebebasan yang harus diakui keberadaannya oleh negara. Sebab, setiap orang berhak untuk membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah dan atas kehendak yang bebas. Hal ini selaras dengan penjelasan Komnas HAM yang menyebutkan kebebasan internal (internal freedom) merupakan kebebasan yang tidak dapat diintervensi oleh negara.

Pada dasarnya, kata Pemohon, ketiadaan hukum secara tegas mengenai pernikahan beda agama atau penolakan perkawinan beda agama di Indonesia merupakan tindakan diskriminatif yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip HAM. “Tidak diakuinya sebuah pernikahan yang disebabkan perbedaan agama merupakan tindakan pembatasan yang didasarkan atas perbedaan agama bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), 28I ayat (1) dan (2), serta Pasal 28B ayat (1) UUD Tahun 1945.”

Untuk dketahui, dalam Putusan MK No.68/PUU-XII/2014 yang dibacakan pada 18 Juni 2015 silam, MK pernah menolak pengujian Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang mengatur syarat sahnya perkawinan terkait kawin beda agama yang dimohonkan seorang mahasiswa dan beberapa alumnus FH UI.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait