Beauty Contest sebagai Business Judgement versus Persaingan Usaha Tidak Sehat
Kolom

Beauty Contest sebagai Business Judgement versus Persaingan Usaha Tidak Sehat

Beauty Contest adalah sebuah terminologi praktik yang di Indonesia belum ada landasan legalnya, sehingga beauty contest tidak terikat dengan peraturan atau legalitas apapun, termasuk dalam UU Anti Monopoli.

Bacaan 2 Menit
Beauty Contest sebagai Business Judgement versus Persaingan Usaha Tidak Sehat
Hukumonline

Kewenangan Direksi dalam rangka menjalankan perbuatan pengurusan Perseroan, yang secara teoritis di dalam doktrin common law masuk dalam lingkup business judgement adalah berorientasi pada kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan tersebut. Secara singkat tujuan Perseroan tidak lain adalah mencari profit atau keuntungan. Salah satu perbuatan pengurusan Direksi sebagai business judgement dapat diberi contoh adalah mencari partner bisnis, mitra usaha, untuk bersama-sama mendirikan usaha joint venture yang mekanismenya mungkin mirip dengan mekanisme tender untuk tercapainya tujuan Perseroan tadi. Namun dalam konteks business judgement, pemilihan mitra melalui beauty contest dalam hukum Perseroan merupakan bagian dari wewenang Direksi yang masuk dalam perbuatan pengurusan.

Namun demikian dengan hadirnya UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Anti Monopoli), telah menjadi perdebatan yang menarik di kalangan pemerhati hukum bisnis, apakah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dapat menggunakan analogi untuk melakukan perluasan penerapan kaidah UU Anti Monopoli pada ranah perbuatan pengurusan Direksi yang masuk dalam ranah business judgement seperti pemilihan mitra dengan cara beauty contest tersebut.

Apa itu Business Judgement Rule?
Business Judgement Rule (BJR): “the rule shields directors and officers from liability for unprofitable or harmful corporate transactions if the transactions were made in good faith, with due care and within the directors or officers authority”. Jadi BJR adalah perlindungan hukum bagi direktur dan jajarannya dari pertanggungjawaban atas setiap kebijakan atau keputusan bisnis atau transaksi yang mengakibatkan kerugian bagi perusahaan, selama kebijakan atau keputusan bisnis atau transaksi bisnis tersebut dilakukan dengan iktikad baik, penuh kehati-hatian sejalan dengan tanggung jawab dan wewenangnya.

BJR dipergunakan untuk melindungi direksi dan jajarannya dari setiap kebijakan atau keputusan bisnis atau transaksi bisnis yang dilakukan untuk kepentingan perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan, dengan catatan: selama kebijakan atau keputusan bisnis atau transaksi bisnis tersebut dilaksanakan sejalan dengan wewenangnya dan dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian (prudent), iktikad baik (goodfaith) dan penuh tanggung jawab (accountable/responsible). (Bandingkan Ps 92 (1) dan (2) jo Ps 97 (1) dan (2) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas/UU PT).

BJR dalam praktik Common Law System, dipakai sebagai salah satu aturan main dalam penerapan Good Corporate Governance (Vide Case Gries Sports Enterprises, Inc v Cleveland Browns Football Co., Inc 496 NE 2nd 959 (Ohio 1986); Lewis D Salomon, Donald E Schwart, Jeffry D Bauman and Elliot J Weiss: Corporations Law and Policy Materials and Problems, 4th ed, St.paul Minn, West Group,1998, hal.685).

Artinya barang siapa yang menyangkal berlakunya business judgement rule, hal itu tidak berlaku untuk direksi dalam sebuah keputusan bisnis tertentu atas nama perseroan. Pembuktian dibebankan kepada pihak ketiga yang mendalilkan adanya pelanggaran business judgment rule tersebut. Yang harus dibuktikan adalah bahwa direksi dalam mengambil keputusan bisnis telah melanggar wewenangnya, tidak didasarkan pada kepentingan perseroan dan tidak mengedepankan prinsip kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.

Kesimpulannya dalam menjalankan perbuatan pengurusan dan penguasaan (berheer en beschikkingdaden) direksi dilindungi oleh prinsip business judgement rule. Oleh karenanya tidak ada pihak manapun yang dapat mempertanyakan keputusan bisnis yang diambil oleh direksi perseroan yang dilakukan sesuai dengan wewenangnya.

BJR adalah standard of conduct yang menjelaskan apa dan bagaimana direksi harus bertindak mewakili perseroan dalam keadaan tertentu atau untuk memutuskan suatu hal tertentu dalam perbuatan pengurusan dan penguasaan (beheer en beschikkingdaden). Untuk menilai ada atau tidak pelanggaran business judgement rule harus ada standard of review. Dalam hukum perseroan Schilfgaarde menyebut standar penilaian tersebut adalah manajemen (Schilfgaarde, 1990., van de BV en de NV, Achtste Druk, Gouda Quint, BV, Arhem). Otonomi direksi itu dibatasi oleh kepantasan dan/atau kelayakan atau kewajaran (Nindyo Pramono, 1997., Sertifikasi Saham PT Go Public dan Hukum Pasar Modal Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.122; Grinten, Sukardono, Rudhy Prasetya berpandangan sama). Dalam hukum bisnis ukurannya adalah wajar, pantas, layak, tidak ada benturan kepentingan.

Beauty Contest adalah sebuah terminologi praktik yang di Indonesia belum ada landasan legalnya, sehingga beauty contest  tidak terikat dengan peraturan atau legalitas apapun, termasuk dalam UU Anti Monopoli.

Istilah Beauty Contest berasal dari kepustakaan Hukum Persaingan Luar Negeri terutama yang menganut Common Law System. Beauty Contest dalam praktik bisnis di Indonesia sebagai bagian dari Business Judgement Direksi adalah praktik pemilihan mitra untuk mendapatkan calon partner usaha guna pengembangan suatu kegiatan bisnis tertentu atau suatu proyek tertentu.

Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.

Apakah Beauty Contest  sama dengan “Tender“?
Beauty Contest sebagai bentuk pemilihan mitra untuk mencari partner kerjasama usaha (joint venture) tidak dapat disamakan dengan pengertian “tender” sebagaimana diatur di dalam UU Anti Monopoli.

Ketentuan mengenai “tender” proyek barang dan/atau jasa dalam UU Anti Monopoli diatur di dalam Pasal 22 tentang Persekongkolan Tender. Definisi “Tender” ditemukan di dalam penjelasan Pasal 22 yang mengatakan bahwa “tender” adalah tawaran mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang atau untuk menyediakan jasa.

Dengan demikian unsur “tender” :
a. adanya tawaran mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan;
b. adanya tawaran harga untuk mengadakan atau menyediakan barang-barang;
c. adanya tawaran harga untuk menyediakan jasa.

Dengan mengacu pada unsur-unsur “tender” sebagaimana dikemukakan di atas, Beauty Contest dalam konteks pemilihan mitra usaha untuk mendapatkan partner usaha untuk menjalin kerjasama (joint venture), sekalipun dilakukan dengan cara menyeleksi calon mitra tidak dapat diartikan sebagai bentuk “tender” sebagaimana diatur di dalam UU Anti Monopoli.

Terlebih lagi, jika penyeleksian calon mitra dalam Beauty Contest untuk memperoleh partner usaha tersebut kemudian diartikan sebagai suatu bentuk “persekongkolan tender”, yang masuk dalam ranah persaingan usaha tidak sehat, menurut hemat Penulis tidak tepat. Pemilihan mitra sebagai suatu business judgement yang dilakukan oleh Direksi sesuai dengan ranah wewenangnya sebagai Organ PT yang diberi wewenang untuk melakukan perbuatan pengurusan (beheerdader). Keputusan bisnis demikian adalah sah dan tidak bisa diganggu gugat oleh pihak lain asal acuannya adalah kepentingan perseroan.

Jika pemilihan mitra usaha tersebut justru mendatangkan efisiensi, maka tidak ada satu pihak manapun yang dapat menyalahkan keputusan business judgement direksi tersebut, bahkan termasuk Pemegang Saham, asal pemilihan mitra tersebut diputuskan sesuai dengan wewenangnya dengan mengacu pada kepentingan perseroan.

Dapatkah dipakai Metode Argumentum Per Analogiam?
Memang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah lembaga yang diberi amanat untuk melaksanakan UU Anti Monopoli. Ia dapat menggunakan interpretasi jika terdapat peristiwa konkrit yang belum atau tidak jelas pengaturannya dalam UU atau terdapat kekosongan hukum. Ia dapat saja menggunakan metode penemuan hukum: analogi (Argumentum Per Analogiam), dalam membuat keputusan hukumnya.

Namun kapan Ia dapat menerapkan analogi? Ini yang menjadi pertanyaan. Adakalanya peraturan perundang-undangan itu terlalu sempit ruang lingkupnya, sehingga untuk dapat menerapkan UU pada peristiwanya, hakim akan memperluasnya dengan metode argumentum per analogiam atau analogi. Dengan analogi peristiwa yang serupa, sejenis atau mirip dengan yang diatur dalam UU diperlakukan sama (Sudikno Mertokusumo, 1996., Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hal.65).

Pada analogi, suatu peraturan khusus dalam UU dijadikan umum yang tidak tertulis dalam UU, kemudian digali asas yang terdapat di dalamnya dan disimpulkan dari ketentuan yang umum itu peristiwa yang khusus. Peraturan umum yang tidak tertulis dalam UU itu diterapkan terhadap peristiwa tertentu yang tidak diatur dalam UU tersebut, tetapi mirip atau serupa dengan peristiwa yang diatur dalam UU (Ibid).

Pertanyaannya, kapan dapat digunakan analogi? Analogi digunakan apabila menghadapi peristiwa-peristiwa yang analog atau mirip. Tidak hanya sekedar mirip, juga apabila kepentingan masyarakat hukum menuntut pernilaian yang sama (Zeverbergen, 1925 : 317, Ibid ).

Oleh hakim penalaran analogi digunakan kalau hakim harus menjatuhkan putusan dalam suatu konflik yang tidak tersedia peraturannya. Dalam hal ini hakim bersikap seperti pembentuk UU yang mengetahui adanya kekosongan hukum, akan melengkapinya dengan peraturan yang serupa seperti yang dibuatnya yang telah ada peraturannya. Maka hakim akan mencari pemecahan untuk peristiwa yang tidak diatur, dengan penerapan peraturan untuk peristiwa yang telah diatur yang sesuai secara analog.

Contoh: Pasal 1756 KUHPerdata mengatur tentang mata uang (geldspecie). Apakah uang kertas termasuk di dalamnya? Dengan jalan analogi maka “mata uang“ menurut Pasal 1756 KUHperdata Ayat (2) ditafsirkan termasuk uang kertas. Jual beli tidak memutuskan hubungan sewa menyewa (Pasal 1576 KUHPerdata). Dalam hal hibah, tukar menukar, dsb tidak tersedia peraturan khususnya. Dengan jalan analogi, dengan memperluas pengertian jual beli, maka setiap perbuatan pengalihan hak milik, dapat dimasukkan ke dalam lingkup Pasal 1576 KUHPerdata.

Oleh sebab itu analogi dalam ilmu hukum ada yang memasukkan ke dalam metode penafsiran ekstensif. Hakim pidana dilarang menggunakan analogi memasukkan peristiwa-peristiwa ke dalam lingkup undang-undang pidana, tetapi tidak dilarang menggunakan interpretasi ekstensif, walaupun pada hakikatnya analogi bersifat memperluas seperti pada penafsiran ekstensif.

Menurut hemat Penulis terlalu jauh jika Beauty Contest dalam konteks pemilihan mitra usaha, dengan metode analogi disamakan dengan mekanisme “tender” dalam UU Anti Monopoli, sehingga jika tidak dilakukan secara transparan sesuai dengan prosedur tender, kemudian dengan metode analogi dijerat dengan pelanggaran Pasal “persekongkolan“ sebagaimana diatur di Pasal 22 UU Anti Monopoli. Menurut hemat Penulis berdasarkan asas legalitas untuk tercapainya asas kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Sistem Hukum Kontinental, maka analogi semacam itu tidak dapat dibenarkan.

Lelang barangkali analog dengan tender, Ya! Namun Beauty Contest yang tujuannya jelas untuk mencari mitra bisnis, untuk membuat perusahaan joint venture misalnya, dengan metode tertentu, Prinsipal mengundang calon mitra, menyeleksinya dengan standar tertentu, menurut hemat Penulis jelas bukan soal “tender”. Oleh sebab itu bukan saja tidak mirip dengan “tender”, juga tidak serupa. Untuk itu tidak tepat jika untuk memahami tentang Beauty Contest kemudian dengan analogi dibuat suatu justifikasi bahwa Beauty Contest dalam konteks pemilihan mitra usaha (partner usaha; joint venture) masuk dalam ranah “tender”, sehingga kalau tidak dilakukan sesuai dengan prosedur “tender” dapat dikenai Pasal 22 tentang Persekongkolan Tender, UU Anti Monopoli.

Apalagi analogi di sini dipakai dalam kerangka untuk menjatuhkan sanksi hukum yang mungkin masuk dalam ranah pelanggaran pidana, Hakim jelas dilarang untuk menggunakan analogi. Dari sudut pandang Business Judgement Rule dalam Teori Hukum PT, juga dalam UU PT, keputusan bisnis untuk melakukan Beauty Contest untuk memperoleh Mitra Bisnis yang profesional, tidak ada hal-hal yang terkait dengan penawaran harga, barang dan atau jasa, jelas hal itu adalah ranah perbuatan pengurusan (berheer daden) yang wewenangnya ada pada setiap Direksi Perseroan.

Jika doktrin maupun ketentuan hukum dalam UU PT seperti ini dilanggar dengan metode analogi, hemat saya akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Bahkan cenderung bertentangan dengan kepentingan perseroan dan/atau maksud dan tujuan perseroan, yang intinya adalah untuk memupuk keuntungan untuk kepentingan perseroan dan/atau pemegang saham.

“Persekongkolan tender” itu lazimnya terjadi dan dilakukan antar peserta “tender”.  Misalnya antar Kontraktor yang secara kolutif bersepakat mengatur harga penawaran “tender”, untuk tujuan “arisan” tender, dimana pada kesempatan sekarang si A yang menang dan nanti si B yang menang dan seterusnya. Misalnya: sebuah instansi Pemerintah akan membangun gedung untuk kantor. Dalam pelaksanaan pembangunan tersebut, instansi ini mengundang kontraktor untuk mengajukan tender. PT. “A”, PT “B”, dan PT “C” merupakan kontraktor yang tertarik untuk melakukan pekerjaan pemborongan. Ketiga perusahaan tersebut saling mengetahui bahwa ketiganya akan mengajukan tender. Penawaran diatur. (Bid rigging) Contoh di atas adalah “persekongkolan tender“, masuk dalam ranah perbuatan yang dilarang – Per se illegal.

Beauty Contest tidak masuk dalam kategori seperti ini. Jika Prinsipal (dalam tender disebut: Bouwheer) justru melakukan tindakan kolutif dengan Kontraktornya yang nantinya akan diberi tanggung jawab untuk mengerjakan proyek yang dia pimpin, rasanya tidak masuk akal sehat, karena justru kepentingannya akan dikorbankan. Beauty Contest murni adalah sebuah keputusan bisnis yang masuk dalam ranah Business Judgement Rule yang dilindungi oleh UU PT.

Penutup
Business Judgement Rule adalah perlindungan hukum bagi direksi PT dari pertanggung jawaban atas setiap keputusan bisnis yang dibuat, selama keputusan bisnis tersebut dilakukan dengan iktikad baik (goodfaith), penuh kehati-hatian (prudent) serta secara bertanggung jawab (acountable atau responsible) sejalan dengan wewenangnya.

Beauty Contest sebagai Business Judgement Direksi tidak dapat disamakan atau dianalogikan dengan tender sebagaimana diatur di dalam UU Anti Monopoli. Beauty Contest tidak dapat dikenai ketentuan Pasal 22 UU Anti Monopoli tentang Persekongkolan Tender dengan jalan analogi.

*Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada


Daftar Rujukan
Andri Adam, 2010., Doktrin Business Judment Rule dan Fiduciary Duty Dalam UU No.40 Tahun 2007 Tentang PT Terhadap Perkara Perdata Gugatan Perbuatan Melawan Hukum Direktur PT KMI, Tesisi S2, Program Pasca Sarjana, FH, UGM, Tidak dipublikasikan.

Denny Adrianus, 2010., Penerapan Business Judment Rule Dalam Pertanggungjawaban Direksi Bank Yang Berbadan Hukum PT Berdasarkan UU No.40 Tahun 2007 Tentang PT, Tesis S2, Pasca Sarjana FH UGM, Tidak dipublikasikan.

Grinten, 1976., Handboek voor de Naamloze en de Besloten Vennootschap, IIe druk, met Medewerking van H.J.M.N Hones, H.M.N.Schonis, W.E.Tjeenk Willink, Zwole.

Nindyo Pramono,1997., Sertifikasi Saham PT Go Public dan Hukum Pasar Modal Di Indonenesia, Citra Aditya bakti, Bandung.

Rudhy Prasetya, 1983., Kedudukan Mandiri dan Pertanggung jawaban dari Perseroan Terbatas, Airlangga University Press, Surabaya.

Sudikno Mertokusumo, 1996., Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta.

Schilfgaarde, 1990., Van de BV en De NV, Achtste Druk, Gouda Quint, BV, Arnhem.

Tags: