Beberapa Segi Hukum tentang Somasi (Bagian III)
Kolom

Beberapa Segi Hukum tentang Somasi (Bagian III)

Tulisan in merupakan sambungan dua tulisan terdahulu. Membahas antara lain tentang batas akhir prestasi, sifat somasi, dan pandangan hukum mengenai prestasi dan wanprestasi.

Oleh:
J. Satrio
Bacaan 2 Menit
Beberapa Segi Hukum tentang Somasi (Bagian III)
Hukumonline

Batas Akhir Prestasi (Termijn Batal)

Permasalahan: apakah orang tidak bisa menyepakati suatu waktu, pada saat mana debitur  pasti wajib untuk melunasi hutang perikatannya tanpa diperlukan adanya somasi? dengan konsekuensinya debitur sudah wanprestasi dengan lewatnya waktu yang disepakati saja?

 

Bisa, yaitu dengan menyepakati suatu waktu tertentu sebagai batas akhir prestasi atau d.p.l. dengan klausula termijn batal. Dalam peristiwa seperti, wanprestasi debitur sudah terjadi dengan sendirinya dengan lewatnya batas akhir prestasi, sehingga tidak memerlukan somasi lagi.  Contohnya dalam perjanjian kredit Bank biasanya memasukkan klausula yang berbunyi: “Para pihak sepakat untuk menetapkan, bahwa dengan lewatnya tanggal …….. saja debitur harus dianggap telah wanprestasi, sehingga tidak perlu diberikan somasi atu surat teguran sejenis itu“. Dengan klausula seperti itu berarti tanggal ……. merupakan batas akhir/verval termijn.

 

Sifat Somasi

Permasalahan: apakah somasi mengkonstatir keadaan wanprestasi debitur, ataukah somasi menimbulkan keadaan wanprestasi dari debitur? Dengan kata lain, apakah somasi bersifat konstatatif atau konstitutif?

 

Kalau kita berangkat dari perumusan somasi sebagai suatu pemberitahuan atau peringatan kepada debitur, bahwa kreditur menghendaki prestasi debitur, baik segera atau nanti pada suatu waktu tertentu, maka debitur baru berada dalam keadaan lalai, kalau debitur tetap tidak melaksanakan kewajibannya pada saat yang ditentukan. Hal itu berarti, bahwa debitur dalam keadaan lalai setelah ada somasi, yang tidak dipenuhi. Dengan cara berfikir seperti itu, maka somasi – yang tidak dipenuhi -- bersifat konstitutif, menimbulkan keadaan lalai. Konsekuensinya, sebelum ada somasi, debitur belum berada dalam keadaan lalai.

 

Kalau kita berangkat dari pikiran, bahwa somasi adalah tindakan mengkonstatir, bahwa debitur memang telah tidak memenuhi kewajiban prestasinya, atau dengan kata lain mengkonstatir bahwa debitur sudah berada dalam keadaan wanprestasi, maka debitur sudah wanprestasi sebelum disomir. Pada waktu yang lampau memang ada yang berpendapat seperti itu (HgH 28 Agustus 1912, dalam T. 106 : 367).

 

Pendapat yang demikian tidak benar (L.E.H. Rutten, 1973 : 170), karena somasi hanya suatu peringatan dari kreditur, agar debitur memenuhi kewajiban perikatannya dan sama sekali tidak mengatakan, bahwa debitur telah tidak memenuhi somasi itu. Bukankah bisa saja atas somasi itu debitur segera membayar kewajiban perikatannya dengan baik dan dengan itu hutang lunas, sehingga sama sekali tidak ada masalah wanprestasi, sekalipun ada somasi? Jadi somasi bukan mengkonstatir keadaan lalai, tetapi suatu peringatan agar debitur berprestasi, dengan konsekuensinya, kalau debitur – tanpa alasan yang sah -- tetap tidak berprestasi, maka somasi menjadikan debitur dalam keadaan lalai  (HR 29 Januari 1915, 485, dimuat dalam P. De Prez, Gids Burgelijk Recht, Deel I, no. 87).

 

Mengapa hal itu perlu dipermasalahkan?

Kalau somasi hanya mengkonstatir wanprestasinya debitur – menyatakan debitur sudah wanprestasi -- maka debitur sebenarnya sudah wanprestasi sebelum somasi. Hal itu berarti, bahwa pada saat itu hutang debitur sudah matang untuk ditagih.  Kalau diikuti pendapat ini (yang mengatakan somasi bersifat konstatatif), maka pernyataan lalai diberikan pada saat debitur sudah dalam keadaan lalai; menurut pendapat ini somasi tidak untuk menetapkan debitur lalai. Konsekuensinya pernyataan lalai (somasi) tidak mungkin dilayangkan, sebelum kewajiban matang untuk ditagih. Bukankah debitur belum waktunya untuk berprestasi.

Halaman Selanjutnya:
Tags: