Begini Cara Hakim Menambal Kelemahan Lembaga Fiktif Positif
Landmark Decisions 2017

Begini Cara Hakim Menambal Kelemahan Lembaga Fiktif Positif

Demi corrective justice, Mahkamah Agung menerobos sifat ‘final dan mengikat’ putusan PTUN atas permohonan Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan juncto Perma No. 5 Tahun 2015.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Sejak dinyatakan berlaku, Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP) telah sering dipakai para pihak untuk menguji sikap atau tindakan pejabat/badan tata usaha negara. Misalnya, mengajukan permohonan perizinan tertentu kepada badan/pejabat tata usaha negara hingga janga waktu tertentu.

 

Jika pejabat bersangkutan mendiamkan atau tidak merespons permohonan hingga jangka waktu tertentu habis, maka pemohon meminta pengadilan ‘memaksa’ pejabat tersebut bersikap. Kecuali ditentukan lain dalam perundang-undangan khusus, batas waktu yang disebut adalah 10 hari kerja sejak permohonan diterima.

 

Setelah UUAP berlaku, para pejabat memang diharuskan melayani kepentingan publik, termasuk merespons permohonan perizinan. Jika pejabat diam saja, secara hukum berarti ia menyetujui permohonan warga. Inilah yang kini lazim disebut fiktif positif. Lembaga fiktif positif adalah kebalikan fiktif negatif yang selama ini dianut UU No. 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara dan dua Undang-Undang perubahannya (terakhir dengan UU No. 51 Tahun 2009). UU PTUN menganut prinsip jika pejabat mendiamkan permohonan berarti permohonan itu ditolak.

 

Pasal 53 UUAP ayat (3) dan ayat (4) menegaskan jika dalam batas waktu yang ditetapkan pejabat mendiamkan saja permohonan maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum. Pemohon mengajukan permohonan ke PTUN untuk memperoleh putusan penerimaan permohonan. Jika pengadilan mengabulkan, maka badan/pejabat wajib menetapkan keputusan untuk melaksanakan perintah pengadilan.

 

Guru Besar Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, Eko Prasojo, menjelaskan lembaga fiktif positif dimaksudkan untuk mendorong badan/pejabat pemerintahan untuk memberikan pelayanan publik yang baik kepada masyarakat. Pemerintah diharuskan secara hukum untuk memberikan respons atas permohonan masyarakat atas keputusan/tindakan tertentu. Jika dalam waktu yang ditetapkan tak direspons, maka ada hak masyarakat untuk memperkarakannya ke pengadilan. “Fiktif positif itu untuk mendorong pelayanan publik yang lebih baik oleh badan/pejabat pemerintahan,” ujar Dekan Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Indonesia yang ikut menyusun UU Administrasi Pemerintahan.

 

Berdasarkan catatan Hukumonline, lembaga fiktif positif ini sudah berkali-kali dipakai untuk melawan pejabat yang tak responsif. Bukan saja dipakai untuk menyatakan suatu permohonan beralasan secara hukum, tetapi juga dipakai untuk menyatakan proses penyidikan tidak sah atau proses hukum yang dilakukan aparat penegak hukum tidak sesuai ketentuan perundang-undangan. Di Sumatera Barat, LBH Padang telah menggunakan lembaga fiktif positif itu untuk meminta gubernur mencabut izin-izin pertambangan.

 

Baca juga:

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait