Begini Cara Hakim Menambal Kelemahan Lembaga Fiktif Positif
Landmark Decisions 2017

Begini Cara Hakim Menambal Kelemahan Lembaga Fiktif Positif

Demi corrective justice, Mahkamah Agung menerobos sifat ‘final dan mengikat’ putusan PTUN atas permohonan Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan juncto Perma No. 5 Tahun 2015.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

 

Hukumonline.com

 

Majelis hakim PK –Supandi, Irfan Fachruddin dan HM Harry Djatmiko—mengabulkan permohonan PK yang diajukan Kepala Kadis Pertambangan Kalimantan Tengah dan membatalkan putusan PTUN Palangkaraya. Dalam amarnya, majelis PK akhirnya menolak permohonan pemohon (perusahaan) untuk seluruhnya.

 

Menurut Mahkamah Agung, UU Administrasi Pemerintahan juncto Perma No. 5 Tahun 2015 memang tak mengatur adanya upaya hukum PK. Tetapi dalam kasus ini, Mahkamah Agung perlu membuka peluang PK sebagai sarana corrective justice.

 

Selain itu, menurut Mahkamah Agung, lembaga fiktif positif yang diatur UUAP dimaksudkan untuk melakukan perbaikan terhadap kualitas pelayanan yang berdasar hukum, bukan sebaliknya.

 

Baca juga:

 

Lewat lembaga fiktif positif, ada kewajiban badan/pejabat merespons permohonan pada jangka waktu tertentu, sehingga pelayanan publik semakin berkualitas. Tetapi lembaga fiktif positif tak seharusnya digunakan untuk mengabulkan permohonan yang tak berdasar hukum dengan cara memanfaatkan celah keterlambatan pejabat melakukan pelayanan. Jika lembaga fiktif positif digunakan sebaliknya, ‘dapat mengacaukan esensi kualitas pelayanan publik dengan cara mengabulkan permohonan pemohon yang tidak berdasar hukum melalui celah keterlambatan pejabat melakukan pelayanan’.

 

Dalam kasus ini, pejabat/badan yang diajukan permohonan tetap harus memeriksa kelengkapan syarat permohonan, apakah terpenuhi atau tidak. Dalam hal ada dua permohonan yang berbeda, yakni legalisasi dokumen dan permohonan clear and clean, maka permohonan itu harus dipisahkan. Jika ada tumpang tindih perizinan, sebaiknya diselesaikan dulu masalah tumpang tindih itu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

Wikarya F. Dirun, pengacara Coalindo Utama, menyayangkan putusan yang menolak permohonan kliennya di tingkat PK. Normatifnya, tidak ada upaya hukum terhadap putusan PTUN, karena menurut Perma sifat putusannya final dan mengikat. Jika tidak ada dasar hukum menerima permohonan PK, seharusnya pengadilan menyatakan permohonan PK itu tidak dapat diterima. “Seharusnya di-NO-kan,” ujarnya saat dihubungi via telepon, Senin (5/3) malam.

Tags:

Berita Terkait