Begini Ciri-ciri Investasi Bodong yang Perlu Diketahui
Berita

Begini Ciri-ciri Investasi Bodong yang Perlu Diketahui

Pengaduan sektor jasa keuangan yang diterima BKPN meningkat selama pandemi.

M. Agus Yozami
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi investasi ilegal. HGW
Ilustrasi investasi ilegal. HGW

Masa pandemi ini adalah masa sulit bagi masyarakat. Himpitan ekonomi menjadi tantangan yang mesti dilalui. Sayangnya, banyak masyarakat yang terjerumus untuk mendapatkan atau menginvestasikan dananya, sehingga mereka terjebak dalam pusaran investasi ilegal atau biasa dikenal investasi bodong.

Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Iluni UI) memaparkan sejumlah ciri umum praktik investasi bodong termasuk pinjaman daring ilegal yang harus dihindari masyarakat agar tidak menjadi korban dan menimbulkan kerugian.

"Karakteristik umum investasi bodong, pertama tidak secara eksplisit menyatakan terdaftar di OJK, tidak ada logo OJK," kata Analis Ekonomi Policy Center Iluni UI, Fadli Hanafi, seperti dikutip Antara dalam webinar terkait perlindungan konsumen industri keuangan di Jakarta, Selasa (8/12).

Selain itu, lanjut dia, besaran imbal hasil yang tidak wajar, bahkan ada yang menjanjikan dua persen setiap hari. Ajakan untuk investasi itu, kata dia, bahkan melalui pesan singkat yakni SMS atau melalui pesan aplikasi Whatsapp yang disebar kepada masyarakat. (Baca Juga: Kendaraan Tak Kuat Menanjak, Konsumen Gugat Produsen Mobil)

Selanjutnya, periode pembayaran imbal hasil tidak wajar atau dengan tempo waktu yang cepat dan domisili perusahaan yang tidak jelas. Kemudian, proses administrasi yang sangat mudah, kata dia, juga perlu dicurigai sebagai investasi bodong. Misalnya, lanjut dia, syarat hanya melampirkan KTP atau kartu keluarga (KK) karena dampaknya ketika terjadi gagal bayar, tidak jarang informasi pribadi itu kemudian disebarluaskan.

"Begitu terjadi gagal bayar, tidak jarang kita temui informasi pribadi kemudian diupload, mempermalukan yang bersangkutan dan tentu ini sangat tidak baik," imbuhnya. (Baca: Pentingnya Memahami Isi Klausula Baku dalam Kontrak Jasa Pembiayaan)

Ia menambahkan sejak 2019 pengaduan terkait perusahaan teknologi keuangan atau Fintech pinjam meminjam dalam jaringan (P2P lending) paling banyak diadukan masyarakat. Pihaknya mengapresiasi OJK melalui perlindungan konsumen, kasus tersebut pada tahun ini menurun 45 persen.

Ia juga mengungkapkan pengaduan terkait multi level marketing (MLM) ilegal juga turun 47,37 persen, kriptokurensi juga turun 53,8 persen, forex/future trading turun 67,26 persen. Namun, lanjut dia, dua sektor perlu mendapat perhatian karena meningkat mencapai 58,3 persen yakni terkait investasi uang dan gadai ilegal mencapai 10,29 persen.

Sementara, OJK berjanji memperketat pengawasan terkait market conduct atau perilaku pelaku sektor jasa keuangan untuk melindungi konsumen dan masyarakat. “Kami akan kencang bahwa market conduct akan kami push  sehingga lebih baik,” kata Deputi Komisioner Edukasi dan Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sarjito.

Menurut dia, market conduct yang menjadi tren di dunia, berkaitan dengan desain, pemasaran hingga layanan setelah penjualan sebuah produk jasa keuangan. Untuk itu, ia meminta pelaku sektor jasa keuangan memastikan informasi yang jelas dan benar terkait produk yang ditawarkan kepada calon konsumen atau masyarakat.

“Kami tidak mau produk bagus tapi dipasarkan dengan tidak jelas. Banyak masyarakat memperoleh informasi produk tidak jelas, makanya kami paksa mereka membuat informasi produk yang benar,” imbuhnya.

Di sisi lain, ia juga meminta konsumen untuk mengecek atau memeriksa produk yang sudah dimiliki atau baru ditawarkan pelaku sektor jasa keuangan. Nasabah perbankan misalnya, lanjut dia, diminta untuk secara reguler mengecek saldo yang ada di tabungannya untuk memastikan secara mandiri bahwa uang yang disimpan aman.

“Konsumen harus cek kekayaannya misalnya revenue di bank, pasar modal, semua diberikan akses jangan didiamkan saja, tiba-tiba hilang, baru mengadu, makanya teknologi yang ada itu dipakai,” katanya.

Aduan Jasa Keuangan Meningkat

Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) mengungkapkan bahwa pengaduan sektor jasa keuangan dan perdagangan daring atau e-commerce serta perumahan mendominasi selama pandemi Covid-19.

“Kemungkinan ada korelasi terkait perubahan kebiasaan konsumsi masyarakat,” kata Ketua BPKN Rizal Edy Halim dalam webinar yang sama.

Menurut dia, selama 2019 tercatat BPKN menerima 1.518 aduan yang 75 persen di antaranya terkait sektor perumahan. Sedangkan tahun ini, hingga 3 Desember 2020, BPKN mencatat 1.220 pengaduan.

Dari jumlah itu, kata dia, pengaduan terkait perumahan menurun menjadi 38 persen dan didominasi sektor keuangan dan e-commerce. “Sepanjang 2020 tiga sektor perumahan, jasa keuangan dan e-commerce menguasai 85 persen kasus yang masuk pascapemberlakuan PSBB,” imbuhnya.

Ia mengungkapkan selama 2020, sektor keuangan total pengaduan yang masuk di BPKN mencapai 191 pengaduan konsumen selama periode Januari-2 Desember 2020. Rinciannya, kata dia, paling banyak terkait non-bank mencapai 56 pengaduan, investasi (55), perbankan (39), uang digital (10), asuransi (29).

Sektor e-commerce, lanjut dia, total pengaduan yang masuk mencapai 282 pengaduan konsumen, yang paling banyak terkait refund atau pengembalian dana sebanyak 191 pengaduan.

Ia menjabarkan aduan di sektor keuangan di antaranya terkait leasing kendaraan, kredit pemilikan rumah dan kredit pemilikan apartemen, pembobolan kartu kredit dan tabungan nasabah, asuransi, pinjaman online (fintech) dan reksadana investasi.

Sementara itu di sektor e-commerce, kata dia, aduannya meliputi pembobolan akun konsumen di marketplace, produk tidak sesuai dengan pesanan, produk tidak sampai kepada konsumen, pemberian hadiah lewat game online, dan refund pembatalan atas pembelian barang yang kosong.

“Memang regulasi yang sudah ada sebenarnya sudah cukup jelas, hanya memang ketika dihadapkan pada situasi di lapangan, maka ruang kompromi antarsektor itu relatif sulit,” katanya.

Sebelumnya, OJK mencatat kasus investasi ilegal alias bodong nilainya mencapai Rp92 triliun dalam kurun waktu dari 2009 hingga 2019. Satgas Waspada Investasi (SWI) yang beranggotakan 13 kementerian dan lembaga terus meningkatkan upaya penindakan fintech peer to peer lending ilegal serta penawaran investasi dari entitas yang tidak berizin melalui peningkatan patroli siber (cyber patrol).

“Patroli siber terus kami gencarkan agar bisa menemukan dan memblokir fintech lending ilegal dan penawaran investasi ilegal sebelum bisa diakses dan memakan korban di masyarakat,” kata Ketua SWI Tongam L Tobing, Selasa (27/10) lalu.

Tags:

Berita Terkait