Belajar dari Kasus Nine AM, Ini Tips Lawyer Agar Putusan Arbitrase Tak Kandas di Pengadilan
Utama

Belajar dari Kasus Nine AM, Ini Tips Lawyer Agar Putusan Arbitrase Tak Kandas di Pengadilan

Dalam putusan arbitrase, hambatan bisa terjadi saat eksekusi putusan melalui pengadilan.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
diskusi mengenai praktik Arbitrase Internasional bersama Singapore International Arbitration Centre (SIAC) di Kantor Hukum Assegaf Hamzah & Partner (AHP) Kamis (1/3) lalu. Foto: NEE
diskusi mengenai praktik Arbitrase Internasional bersama Singapore International Arbitration Centre (SIAC) di Kantor Hukum Assegaf Hamzah & Partner (AHP) Kamis (1/3) lalu. Foto: NEE

Sengketa antara Nine AM Ltd. dengan PT Bangun Karya Pratama (BKP) menjadi fakta bahwa kewajiban perjanjian berbahasa Indonesia dalam UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (UU Bahasa) tak bisa dianggap enteng dan bisa berujung rugi jutaan dolar. Persoalan bahasa dalam kontrak internasional ini menjadi salah satu isu dalam diskusi mengenai praktik Arbitrase Internasional bersama Singapore International Arbitration Centre (SIAC) di Kantor Hukum Assegaf Hamzah & Partner (AHP), Kamis (1/3).

 

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No. 450/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Bar antara Nine AM Ltd. dengan BKP (Kasus Nine AM) menyatakan kontrak utang-piutang di antara kedua pihak yang bersengketa tersebut “batal demi hukum” karena tidak memenuhi persyaratan ‘kausa yang halal’ sebagaimana diatur pada KUHPerdata. Dengan pertimbangan yang sama, Mahkamah Agung (MA) pada tingkat Kasasi mempertahankan putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat.

 

(Baca Juga: MA Tolak Kasasi Perkara Gugatan Kontrak Berbahasa Inggris)

 

Dalam hal ini pengadilan menilai bahwa kontrak antara Nine AM Ltd. dan BKP yang hanya menggunakan bahasa Inggris tidak memenuhi syarat sah suatu perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPer mengenai ‘kausa yang halal’ karena bertentangan dengan kewajiban penggunaan bahasa Indonesia di UU Bahasa. Oleh karena itu, atas dasar Pasal 1335 jo. Pasal 1337 KUHPerdata kontrak itu dianggap batal demi hukum.

 

Pasal 31 UU Bahasa:

“Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan Negara, instansi Pemerintah Republik Indonesia, Lembaga Swasta Indonesia atau perseorangan Warga Negara Indonesia.”

 

Argumentasi panjang lebar pihak Nine AM Ltd. yang melawan pendapat Majelis Hakim Tingkat Pertama dan Banding soal makna dari ‘kausa yang halal’ dalam Pasal 1320 KUHPerdata tak digubris oleh Majelis Hakim Kasasi dalam putusan No.1572 K/Pdt/2015. Putusan kasasi membenarkan logika hukum dalam putusan Pengadilan Negeri yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta.

 

Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:

Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara seksama memori kasasi tanggal 4 Maret 2015 dan kontra memori kasasi tanggal 24 Maret 2015 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti dalam hal ini pertimbangan Pengadilan Tinggi yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri tidak salah menerapkan hukum, dengan pertimbangan sebagai berikut:

Bahwa perjanjian yang dibuat para pihak ditandatangani pada tanggal 30 Juli 2010, dibuat setelah diundangkannya Undang Undang Nomor 24 Tahun 2009 tertanggal 9 Juli 2009 yang mengsyaratkan harus dibuat dalam bahasa Indonesia;

Bahwa faktanya Loan Agreement tersebut tidak dibuat dalam bahasa Indonesia, hal ini membuktikan bahwa perjanjian yang dibuat para pihak bertentangan dengan ketentuan Pasal 31 ayat (1) Undang Undang Nomor 24 Tahun 2009 sehingga dengan demikian perjanjian/Loan Agreement a quo merupakan perjanjian yang dibuat berdasarkan sebab yang terlarang, sehingga sesuai ketentuan Pasal 1335 juncto Pasal 1337 KUHPerdata perjanjian tersebut batal demi hukum;

Bahwa Akta perjanjian Jaminan Fiducia atas benda tertanggal 30 Juli 2010 Nomor 77, yang merupakan perjanjian ikutan (accesoir) juga harus dinyatakan batal demi hukum;

Bahwa selain itu alasan kasasi hanya pengulangan atas semua yang telah dipertimbangkan dengan benar oleh Judex Facti;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, ternyata putusan Judex Facti/Pengadilan Tinggi Jakarta yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi NINE AM, LTD. tersebut harus ditolak.

 

Partner senior di AHP, Eri Hertiawan, dalam diskusi mengemukakan persoalan bahasa dalam kontrak internasional ini juga bisa menghambat sebuah putusan arbitrase untuk dieksekusi di Indonesia. Faktanya, ia menemukan perkara di mana putusan arbitrase SIAC disangkal oleh pihak respondent Indonesia yang kalah dengan menyatakan kontraknya batal demi hukum karena tidak berbahasa Indonesia.

 

“Asasnya validitas suatu perjanjian itu bukan masalah bahasa, sudah jelas diatur pasal 1320 KUHPer, UU Bahasa tidak bisa dijadikan syarat tambahan keabsahan perjanjian,” kata Eri kepada hukumonline.

 

(Baca Juga: MA Berencana Susun Perma tentang Pelaksanaan Putusan Arbitrase)

 

Meskipun Indonesia tidak menganut sistem preseden dalam putusan pengadilan yang mengikat hakim dengan putusan terdahulu, Eri mengakui bahwa putusan Mahkamah Agung dalam kasus Nine AM bisa menjadi dalih argumentasi atas eksekusi putusan arbitrase yang basis kontraknya tidak berbahasa Indonesia.

 

“Kalau pendaftaran (putusan arbitrase) tidak ada upaya hukum untuk bisa menahannya, tapi saat eksekusi putusan arbitrase ada kemungkinan perlawanan dengan dalih UU Bahasa tadi,” jelasnya.

 

Lalu bagaimana sebaiknya cara menghindari ganjalan eksekusi putusan arbitrase dari pihak yang kalah dalam persoalan bahasa asing dalam kontrak?

 

“Kontrak yang dibuat bilingual itu paling aman,” kata Eri. Artinya, setiap transaksi bisnis terutama yang melintas batas yurisdiksi harus tetap dibuat dengan bahasa Indonesia disamping bahasa internasional lainnya yang dipilih para pihak.

 

Naomi, in house counsel dari divisi hukum PT. Mass Rapid Transit Jakarta, mengatakan hal sama kepada hukumonline. “Untuk mengantisipasinya, perusahaan kami menggunakan bilingual dalam semua perjanjian internasional kami, bahasa Indonesia dan biasanya bahasa Inggris,” jelasnya.

 

In house counsel dari divisi hukum PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk., Johansyah, menambahkan persoalan bahasa dalam kontrak ini harus disepakati sejak awal dalam kontrak bahasa mana yang dipakai saat bersengketa terutama arbitrase. “Hemat saya paling aman kalau ada pihak asing, tuangkan dalam dua bahasa, kemudian sepakati bahasa mana yang jadi rujukan kalau ada perbedaan,” katanya.

 

Cara ini menjadi mitigasi risiko jika persoalan bahasa dalam kontrak dipermasalahkan. Dan dalam sengketa di arbitrase internasional, kesepakatan sejak awal soal versi bahasa mana yang jadi rujukan saat penyelesaian sengketa akan menutup celah perdebatan versi bahasa mana yang harus dirujuk para arbiter.

 

Sebenarnya, lembaga arbitrase internasional seperti SIAC sudah menyediakan penerjemah tersumpah yang bisa menjamin dokumen apapun dalam proses arbitrase akan dapat dipahami dengan benar oleh para arbiter yang ditunjuk. SIAC menjamin persoalan bahasa dalam dokumen yang digunakan tidak akan menjadi hambatan untuk menghasilkan putusan arbitrase terbaik para arbiternya.

 

Namun berkaitan adanya polemik UU Bahasa ini, salah satu Deputi dari SIAC yang hadir, Kevin Nash juga menyarankan usul yang sama. “Karena ada keharusan ini, maka bisa dibuat dengan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sejak awal kontrak dibuat,” katanya saat diwawancarai hukumonline.

 

Isu lain yang menjadi perbincangan adalah soal eksekusi putusan arbitrase internasional. Para pengguna forum arbitrase internasional harus menyadari bahwa dalam UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase) telah ditetapkan lima syarat kumulatif soal putusan arbitrase internasional yang diakui dalam yurisdiksi Indonesia. Salah satu yang bisa membuat putusan arbitrase internasional terganjal adalah syarat ‘ketertiban umum’.

 

Pasal 66

Putusan Arbitrase Internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.

b. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan.

c. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.

d. Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan

e. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

 

Tidak ada uraian lebih lanjut dalam penjelasan pasal huruf c ini mengenai apa yang dimaksud ‘ketertiban umum’. Sementara dalam Pasal 4 ayat 2 Peraturan Mahkamah Agung RI No.1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing hanya disebutkan bahwa ‘ketertiban umum’ adalah tidak bertentangan dengan sendi-sendi asasi seluruh sistem hukum dan masyarakat di Indonesia.

 

Jika mengacu pada putusan kasasi No.877 K/Pdt.Sus/2012 dalam kasus Astro Nusantara International B.V. vs. Ayundra Prima Mitra, syarat tidak bertentangan dengan ‘ketertiban umum’ akan ditentukan oleh pengadilan sebelum putusan arbitrase internasional dapat dieksekusi.

 

Tags:

Berita Terkait