Benang Kusut Penataan Regulasi, Bagaimana Solusinya?
Utama

Benang Kusut Penataan Regulasi, Bagaimana Solusinya?

Beragam permasalahan penataan regulasi bermuara pada lemahnya kelembagaan yang menangani pembentukan peraturan perundang-undangan. Pemerintah diminta segera membentuk badan/lembaga regulasi pemerintahan untuk mengatasi persoalan penataan regulasi.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Sejumlah narasumber diskusi di Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, Kamis (13/12). Foto: AID
Sejumlah narasumber diskusi di Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, Kamis (13/12). Foto: AID

Penelitian Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) terkait penataan regulasi menunjukkan kurun waktu Oktober 2014 s.d. Oktober 2018 ada total 8.945 regulasi yang dibentuk di tingkat nasional meliputi Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Menteri. Apabila dirata-rata, 6 regulasi lahir setiap hari di Indonesia. Jumlah regulasi/peraturan yang terus menggunung (hiper regulasi) dan substansinya tumpang tindih ini tentunya berdampak bagi masyarakat dan dunia usaha.  

 

Direktur Pengembangan dan Sumber Daya Penelitian PSHK Rizky Argama mengatakan ada lima persoalan penataan regulasi yang menyebabkan hiper regulasi dan tumpah tindih regulasi. Pertama, perencanaan legislasi dengan perencanaan pembangunan tidak sinkron. Kedua, isi peraturan tidak sejalan dengan ketentuan materi muatan. Ketiga, mekanisme monitoring dan evaluasi terhadap regulasi belum terlembaga. Keempat, hiper regulasi dan pengaturan tumpah tindih Kelima, kewenangan lembagaan masih tumpah tindih.

 

“Banyaknya regulasi yang dibuat pemerintah tidak dibarengin evaluasi terkait regulasi tersebut, sehingga tumpah tindih regulasi semakin meningkat. hal ini tentu berdampak bagi kehidupan masyarakat termasuk (ketidakpastian) dunia usaha dan investasi,” kata Rizky dalam diskusi mengenai penataan regulasi di Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, Kamis, (13/12/2019). Baca Juga: Omnibus Law Mestinya Jadi Pintu Masuk Pembenahan Hiper Regulasi

 

Rizky Argama menerangkan tidak sinkronnya perencanaan legislasi dan pembangunan perlu upaya perbaikan kualitas regulasi dengan mengintegrasikan proses untuk menghindari dualisme kelembagaan dalam menyusun perencanaan pembangunan dan perencanaan peraturan perundang-undangan. Menurutnya, selama ini perencanaan pembentukan regulasi dan penyusunan prolegnas tidak terencana dengan baik (sistematis).   

 

“Faktanya justru banyak pembuatan regulasi yang muncul di luar perencanaan,” kritiknya.  

 

Terkait isi peraturan tak sejalan dengan ketentuan materi muatan, Rizky menilai tidak spesifiknya penentuan materi muatan turut berdampak pada lahirnya produk peraturan perundang-undangan yang saling tumpang tindih. Seperti, banyak topik permasalahan yang sebenarnya dapat diatur dengan satu produk peraturan perundang-undangan, tetapi kenyataanya justru diatur dalam beberapa produk peraturan.

 

Penyebab lain, kata pria yang akrab disapa Gama ini, karena ada frasa “pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat” dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dapat dimaknai sangar luas, sehingga banyak terbitnya peraturan. “Ditambah tidak ada lembaga yang secara khusus mengawasi ketaatan proses pembentukan peraturan, seperti kesesuaian materi muatan,” lanjutnya.  

 

Menurutnya, selama ini peraturan perundang-undangan tidak ada mekanisme dievaluasi secara terlembaga dalam siklus legislasi (baku). Selama ini siklus pembentukan peraturan hanya meliputi perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan publikasi. Hal itu yang mengakibatkan hiper regulasi dan tumpah tindih regulasi. Tercatat hingga akhir 2018, tercatat sebanyak 7.621 Peraturan Menteri; 765 Peraturan Presiden; 452 Peraturan Pemerintah, 107 UU.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait