Beragam Hal yang Harus Dihindari dalam Pilkada 2020
Berita

Beragam Hal yang Harus Dihindari dalam Pilkada 2020

Mulai politik transaksional, politik berbiaya tinggi, konflik horisontal di masyarakat lokal, hingga mengutamakan politik identitas.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

Padahal, selama ini Panwas pemilihan kabupaten/kota dibentuk oleh Bawaslu Provinsi untuk mengawasi penyelenggaraan pemilihan di kabupaten/kota hingga, Panwas Kecamatan, PPL, dan Pengawas TPS. Karena itu, perlu merevisi UU Pilkada. “Bawaslu hanyalah sebagai pelaksana, tapi permasalahannya tidak sinkron antara UU 10/2016 dan UU 7/2017 terkait keberadaan Panwas,” tegasnya.

 

Seperti diketahui, perbedaan nomenklatur “Panwas Kabupaten/Kota” itu tengah dimohonkan pengujian di MK melalui uji materi sejumlah pasal dalam UU Pilkada. Hingga kini, belum diputuskan oleh MK. Baca Juga: Bawaslu Minta MK Segera Putuskan Tafsir Eksistensi Panwas

 

Tiga tantangan

Terlepas berbagai kekurangan regulasi, Pelaksana tugas Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Bahtiar mengatakan terdapat tiga tantangan dalam penyelenggaraan Pilkada 2020 yang perlu perhatian semua pemangku kepentingan.

 

Pertama, integritas, profesionalisme dan manajemen tata kelola pemilu. Menurutnya, desa/kelurahan dan tempat pemilihan sementara (TPS) setidaknya membutuhkan tiga juta orang penyelenggara pemilu ad hoc untuk 270 daerah yang bakal menggelar Pilkada 2020. Proses rekrutmen calon penyelenggara yang berintegritas menjadi faktor utama dalam menjamin kualitas penyelenggaraan pemilu/pilkada.

 

Kedua, media sosial menjadi sumber konflik. Bachtiar berkaca dari pelaksanaan Pemilu 2019 dimana massa pendukung terpecah menjadi dua, hingga saling “bertengkar” di media sosial. Karena itu, masyarakat diminta agar tidak mudah terprovokasi terhadap segala informasi yang tidak jelas sumbernya.

 

“Penyelenggara pemilu/pilkada harus transparan dan media sosial semestinya menjadi tempat publikasi yang benar, sehingga masyarakat dapat menerima informasi secara cepat, akurat, dan dapat dipertanggungjawabkan,” ujarnya sebagaimana dilansir Antara.

 

Ketiga, politik identitas. Menurutnya, politik identitas menjadi bagian sumber konflik. Dia menilai semestinya kontestasi pilkada antar kandidat kepala daerah terkait berbagai prestasi dengan latar belakang yang beragam, bukan mengedepankan/mengutamakan politik identitas.

 

“Upaya merebut simpati dan membangun citra diri seringkali menimbulkan fanatisme berlebihan. Fanatisme tersebut kalau tidak dikendalikan akan bergeser ke fanatisme suku, agama, ras, profesi, golongan,” katanya.  

Tags:

Berita Terkait