Bermodal Putusan MK, Pengusaha Alat Berat Tolak Pajak Kendaraan Bermotor
Berita

Bermodal Putusan MK, Pengusaha Alat Berat Tolak Pajak Kendaraan Bermotor

Aspindo akan ajukan executive review Peraturan Daerah yang mengatur tentang pajak kendaraan bermotor bagi alat berat.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Kendaraan alat berat. Foto: YOZ
Kendaraan alat berat. Foto: YOZ
Pengusaha alat berat yang tergabung dalam Asosiasi Jasa Pertambangan Indonesia (Aspindo) menolak untuk membayar pajak yang selama ini dikenakan kepada alat berat lantaran dinilai sebagai kendaraan bermotor. Misalnya, pajak barang mewah dan pajak kendaraan bermotor. Pasalnya, Mahkamah Konstitusi telah menyatakan bahwa alat berat bukan merupakan kendaraan bermotor.

Sebagaimana diketahui, bulan April lalu MK mengeluarkan Putusan No.3/PUU-XIII/2015 yang menyatakan bahwa alat berat dan kendaraan bermotor memiliki karakteristik yang sangat berbeda. Alat berat adalah kendaraan dan/atau peralatan yang digerakan oleh motor, tetapi bukan kendaraan bermotor dalam pengertian yang diatur oleh UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya (UU LLAJ).

Dengan demikian, pengaturan alat berat sebagai kendaraan bermotor seharusnya dikecualikan dari UU LLAJ, atau setidaknya terhadap alat berat tidak dikenai persyaratan yang sama dengan persyaratan bagi kendaraan bermotor pada umumnya yang beroperasi di jalan raya, yaitu sepeda motor dan mobil.

Selain itu, putusan tersebut juga menyatakan bahwa aturan mewajibkan alat berat untuk memenuhi persyaratan teknis yang sama dengan persyaratan bagi kendaraan bermotor pada umumnya adalah hal yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.

“Para pemilik alat berat tidak usah takut untuk menolak membayar pajak kendaraan bermotor terkait alat-alat beratnya,” kata Ketua Umum Aspindo, Tjahyono Imawan, di Jakarta, Kamis (23/6).

Dia menambahkan, para pengusaha bukannya tidak mau membayar pajak. Hanya saja, para pemilik alat berat tidak ingin membayar pajak yang tidak seharusnya. Menurutnya, hampir semua perusahaan pemilik alat berat merasakan ketidakadilan atas pungutan pajak kendaraan bermotor yang dikenakan atas alat-alat berat yang dimilikinya.

“Alat-alat berat tersebut merupakan alat produksi dan bukannya alat transportasi meskipun digerakkan oleh motor. Menurut kami alat produksi tidak seharusnya dikenakan pajak barang mewah meskipun harganya mahal,” tandasnya.

Advokat kantor hukum Ali Nurdin and Partners (AnP), Ali Nurdin, mengatakan bahwa dirinya sebagai praktisi hukum menyarankan agar Aspindo dan asosiasi-asosiasi lain yang terkait untuk membentuk gerakan nasional menolak membayar pajak jika alat berat masih dimasukkan ke dalam jenis kendaraan bermotor.

Ia mengaku memahami bahwa alat berat ini lazimnya digunakan di suatu proyek tertentu seperti pertambangan dan konstruksi bukan dipakai sebagai alat transportasi. Sehingga, tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori kendaraan bermotor.

"Pemerintah seharusnya mengkaji ulang definisi alat berat itu sendiri. Dengan keluarnya keputusan MK tersebut, semua aturan bagi kendaraan bermotor seperti pajak, uji kelayakan kendaraan atau kir, uji tipe, adanya kelengkapan kendaraan seperti dongkrak atau segitiga pengaman tidak tidak berlaku lagi," katanya.

Kemudian jika sebelumnya alat-alat berat tersebut juga harus diregistrasi dan didentifikasi, sekarang hal tersebut tidak perlu lagi. Begitu juga dengan orang yang mengoperasikannya yang tidak memerlukan lagi surat izin mengemudi (SIM) B2. Tidak hanya itu, dengan dikeluarkannya keputusan tersebut juga para pemilik alat berat dapat melakukan modifikasi terhadap alat-alat beratnya yang sebelumnya dilarang.

Ia pun menilai Aspindo perlu melakukan executive review ke Kemendagri. Sebab, hingga saat ini ada sekitar 12 provinsi yang mengeluarkan Perda mengenai pajak kendaraan bermotor bagi alat berat. Menurutnya, Perda-perda tersebut seharusnya segera dibatalkan.

Mantan Hakim MK Laica Marzuki menjelaskan, Putusan MK pada dasarnya sudah menjadikan Perda-perda tersebut batal secara materiil. Sehingga, kalaupun ada upaya pembatalan dari Kemendagri, maka hanya bersifat formiil. Hanya saja, ia menilai paya executive review tetap diperlukan.

“Orang-orang dinas sering kali mengatakan bahwa peraturan selama belum dibatalkan tetap berlaku. Padahal secara materiil peraturan itu sudah tidak berlaku karena aturan diatasnya sudah dibatalkan. Tetapi kan untuk penguatan di lapangan, perlu pembatalan formiil,” ujarnya.

Tjahjono Imawan pun menegaskan, pihaknya akan segera melakukanexective review agar 12 Perda yang ada segera dibatalkan. Tak hanya itu, ia berencana tak hanya melakukan upaya hukum tetapi juga akan menempuh jalur politik. Diriya berharap bisa melakukan audiensi terkait hal ini kepada Presiden Jokowi. 

Tags:

Berita Terkait