Berpotensi Rugikan Konsumen, YLKI Minta Penerapapan Kelas Rawat Inap Standar Ditunda
Terbaru

Berpotensi Rugikan Konsumen, YLKI Minta Penerapapan Kelas Rawat Inap Standar Ditunda

Setidaknya terdapat tiga hal yang harus dipenuhi oleh pemerintah sebelum menerapkan KRIS. Apa saja?

Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit

Kebijakan tersebut dikritisi oleh Anggota Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Sujatno. Dia menjelaskan bahwa KRIS merupakan amanah dari dari Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem jaminan Sosial Nasional (SJSN). Di dalam pasal 23 ayat (4), menyebutkan bahwa “dalam hal peserta membutuhkan rawat inap di rumah sakit, maka kelas pelayanan di rumah sakit diberikan berdasarkan kelas standar”.

Agus sepakat bahwa kebijakan ini berarti setiap peserta jaminan sosial memiliki kesamaan dalam memperoleh pelayanan rawat inap sesuai dengan kebutuhan medis yang tidak terikat dengan tingkatan kelas dan besaran iuran yang telah dibayarkan. Namun dari sisi perlindungan konsumen, menurutnya rencana ini perlu dikritisi dalam implementasinya.

Pertama, untuk peserta BPJS Kesehatan existing yang saat ini terdaftar di kelas 1 (satu), harus secara sukarela turun kelas dan menyesuaikan KRIS. Pasien eks kelas 1 yang tidak  mau dirawat inap di ruang bersama, maka dipersilahkan naik ke kelas VIP yang dimiliki rumah sakit. Tentu saja dengan konsekuensi membayar selisih biaya, menjadi pasien umum, atau dicover asuransi swasta (jika punya).

“Sedang peserta existing yang terkelompok di kelas 3 terpaksa harus naik kelas. Tentu saja konsekuensi iuran juga berpotensi naik,” kata Agus dikutip dari laman YLKI, Senin (20/6).

Dengan demikian, lanjut Agus, patut diduga kelas standar (KRIS) ini digagas untuk mengakomodasi kepentingam asuransi komersial. Pihak RS akan berlomba memperbanyak ruang VIP, untuk mengakomodir peserta JKN yang tidak mau menggunakan kelas standar. Secara faktual di lapangan, fenomena ini sudah semakin nampak. Yang menjadi catatan adalah bahwa standar pelayanan dan ruangan kelas VIP di masing-masing rumah sakit berbeda. Fenomena penamaan kelas premium juga beragam, belum ada standar secara nasional. Kelas VIP di rumah sakit A, tingkat layanan dan ruangan bisa jadi sama dg kelas VVIP di rumah sakit B, dan sama dengan kelas 1 di rumah sakit lainnya.

Kedua, kesiapan infastruktur rumah sakit. Dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perumahsakitan, menyebutkan bahwa ketersediaan tempat tidur untuk pelayanan rawat inap kelas standar minimal 60% untuk rumah sakit pemerintah pusat dan daerah, dan 40% untuk rumah sakit swasta.

Artinya, rumah sakit harus segera berbenah/renovasi untuk mengikuti mandat perpres. Namun Agus menilai hal ini tidak mudah bagi rumah sakit – terutama swasta untuk mengubah set ruangan menyesuaikan kelas rawat inap standar. Di sisi lain, perubahan ruang ini juga penting untuk dilakukan standardisasi.

“Sehingga perlu ada tim pengawas yang melakukan proses kredensial untuk penyesuaian ruang kelas standar. Jangan sampai ada program kelas rawat inap standar namun infrastruktur berbeda antara rumah sakit yang satu dengan lainnya,” jelasnya.

Ketiga, yang tidak kalah penting dalam penerapan KRIS adalah kesiapan sumber daya manusia untuk menerapkan standar pelayanan. Cakupan wilayah di Indonesia yang demikian luas, menyimpan kendala ketidakmerataan tenaga ahli/dokter spesialis di setiap rumah sakit. Terutama daerah terpencil. Dengan kata lain, ketika menerapkan KRIS, juga harus dibarengi layanan standar yang sama, yang mencakup tenaga medis, obat-obatan dan fasilitas peralatan. 

“Tanpa memperhatikan tiga hal di atas, penerapan rencana penerapan KRIS selayaknya ditunda terlebih dulu, sebab hal ini berpotensi merugikan konsumen/pasien/peserta BPJS Kesehatan,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait