Berwenang Buat Peraturan, BPJS Libatkan Masyarakat
Berita

Berwenang Buat Peraturan, BPJS Libatkan Masyarakat

Terutama kelompok masyarakat yang akan terkena dampak materi peraturan yang akan dibuat.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Loket BPJS Kesehatan. Foto: RES
Loket BPJS Kesehatan. Foto: RES
Sesuai mekanisme yang diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dalam pembuatan peraturan masyarakat harus dilibatkan. Keharusan itu diingatkan kembali Direktur Ligitasi Ditjen Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM, Nasruddin, dalam sebuah diskusi akhir pekan lalu.

Nasruddin mengatakan Peraturan BJPS Kesehatan No. 4 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Pembayaran Peserta Perorangan BPJS Kesehatan harus mengacu pada regulasi yang lebih tinggi. Oleh karena kegiatan BPJS menyangkut publik, maka seharusnya Peraturan BPJS tersebut merujuk pada UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Asasnya, peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.

Untuk mengurangi potensi digugat, maka pembentukan suatu peraturan (regeling) perlu melibatkan masyarakat. Terutama mereka yang terkena dampak langsung pengaturan. Tujuannya, kata Nasruddin, agar masyarakat memahami alasan terbitnya peraturan dimaksud, dan mengetahui hak atau kewajiban mereka.  

Secara normatif, BPJS memang punya kewenangan menerbitkan peraturan. Tetapi perlu melibatkan masyarakat, terutama pemangku kepentingan langsung. “Jangan sampai peraturan BPJS Kesehatan itu di-judicial review ke MA,” imbuhnya.

Peraturan BPJS Kesehatan No. 4 Tahun 2014 dipersoalkan sejumlah kalangan karena dinilai merugikan masyarakat miskin. Antara lain karena keharusan punya Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan rekening bank. Demikian pula tentang waktu tunggu 7 hari sebelum warga bisa menggunakan kartunya.

Waktu tunggu ini pula yang mendapat sorotan dari Nasruddin. Pelayanan publik seharusnya bisa diberikan dengan cepat. Begitu warga mendaftar, mereka bisa mendapatkan layanan langsung. “Harus dicari jalan keluar agar program BPJS Kesehatan bisa berkelanjutan dan peserta tidak terlanggar haknya,” saran Nasruddin.

Staf Ahli DJSN, Mahlil Ruby, menilai Peraturan BPJS No. 4 Tahun 2014 itu hambatan antara tata kelola yang dibutuhkan BPJS Kesehatan dan hak konstitusi rakyat. Peraturan itu membuat masyarakat enggan mendaftar menjadi peserta BPJS Kesehatan.

Ruby melihat terbitnya peraturan itu didorong oleh adverse selection (kepesertaan berdasarkan resiko –red) pada peserta mandiri. Akibatnya, pembayaran iuran tidak berkesinambungan. Tapi, perlu dipahami, di banyak negara pun,  pembayaran iuran peserta mandiri biasanya tidak berkesinambungan. Selain itu, batas besaran upah untuk peserta kategori penerima upah menurut Ruby harus diubah, jangan 2 kali PTKP. Rumus semacam ini menyebabkan subsidi silang dalam program JKN yang dikelola BPJS Kesehatan menjadi rendah.

Ruby mengingatkan status BPJS adalah badan hukum publik. Pemegang saham bukan lagi pemerintah, tapi rakyat. Dengan diterbitkannya Peraturan BPJS Kesehatan No. 4 Tahun 2014 itu mengakibatkan benturan antara tata kelola BPJS Kesehatan yang efisien dengan hak rakyat selaku pemengang saham. “Tujuan asuransi kesehatan sosial itu untuk melindungi rakyat. Kalau ada ketentuan yang mengatur masa tunggu tujuh hari bagaimana bisa dikatakan mau melindungi rakyat,” tutur Ruby.

Atas dasar itu Ruby berkesimpulan Peraturan BPJS Kesehatan No. 4 Tahun 2014 itu tepat dalam konteks tata kelola. Tapi tujuan regulasi itu untuk mengurangi adverse selection tidak tepat. Penerapan syarat berupa kepemilikan rekening bank terbukti gagal mendorong peserta mengiur secara rutin, seperti yang terjadi di China.

Walau sepakat dengan kebijakan untuk memperbaiki tata kelola pelaksanaan program JKN yang digelar BPJS Kesehatan, tapi Ruby berharap agar semua pihak mendorong Kemendagri untuk memperbaiki data kependudukan. Sehingga setiap orang bisa memperoleh NIK.

Syarat yang tercantum dalam pasal 8 dan 9 Peraturan BPJS No. 4 Tahun 2014 menurut Ruby harus direvisi atau ditunda pelaksanaannya. Sebab, ketentuan itu belum tepat jika dilaksanakan sekarang. Harus ada sosialisasi yang gencar terlebih dulu kepada seluruh masyarakat. “Setidaknya harus ada pemberitahuan (sosialisasi) selama enam bulan sebelum regulasi itu dilaksanakan,” usulnya.

Tak ketinggalan, dalam rangka menjaga likuiditas BPJS Kesehatan, Ruby menyarankan agar Kementerian Keuangan dan Kesehatan menyiapkan dana darurat sekitar Rp4 triliun yang dapat digunakan oleh BPJS Kesehatan secara mudah. Itu diperlukan untuk mengantisipasi dampak adverse selection. “Jadi ketika BPJS Kesehatan mengalami masalah likuiditas bisa mengambil dana cadangan itu,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait