Layaknya dua sisi mata koin, pendirian perusahaan-perusahaan ini pun bisa bertujuan positif, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa pelaku memiliki tujuan negatif dengan berinvestasi di tax haven countries, misalnya menghindari membayar pajak dan melakukan upaya money laundering atau pencucian uang.
Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) tak menampik bahwa advokat bisa menjadi salah satu pemain dalam perbuatan seperti itu. Pasalnya, kata Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional (DPN) PERADI Thomas Tampubolon, advokat dianggap memiliki pemahaman hukum paling baik untuk menjadi alat penghubung yang dipilih calon investor.
“Advokat di sini bisa saja jadi penghubung untuk melakukan itu. Nah kalau terbukti uangnya merupakan hasil dari tindakan melawan hukum – karena advokat seharusnya sih bisa menduga ya dari mana uang tersebut berasal, maka dapat dikatakan kalau dia telah turut serta melakukan tindakan kriminal,” ujar Thomas saat dihubungi hukumonline, Rabu (13/4).
Thomas menyampaikan, bila ada dugaan advokat yang melakukan hal sebagaimana telah dijelaskan di atas, PERADI lewat Komisi Pengawas Advokat, dapat melakukan pemeriksaan lebih lanjut sebab hal yang dituduhkan kepadanya itu memiliki indikasi adanya pelanggaran kode etik. Bahkan, tak perlu menunggu adanya aduan, komisi pengawas bisa secara pro aktif melakukan pemeriksaan ini.
“Ya contohnya kami baca di koran ada advokat yang melakukan tindakan tidak terpuji dan mengandung indikasi pelanggaran kode etik profesi, kami bisa memanggil berdasarkan informasi tersebut. Meminta dia memberi penjelasan,” ujar Thomas.
Namun sampai sekarang, lanjut Thomas, belum ada pembahasan mengenai advokat Indonesia yang terpampang namanya atau nama kantornya dalam daftar Panama Papers atau laporan investigasi lain yang serupa, di kepengurusan DPN PERADI yang dipimpin oleh Fauzie Yusuf Hasibuan itu.
“Secara spesifik mengenai isu ini belum ada pembahasannya ya. Saya juga baru tau juga kalau advokat Indonesia ada masuk. Selama ini dengarnya pengusaha kan. Tapi bisa saja kita melakukan pengawasan sih. Hanya saja sejauh ini sih kalau saya mikir ya diminta keterangan dulu kali ya karena belum tentu benar itu pelanggaran hukum,” ungkapnya.
Untuk diketahui, sebelumnya berdasarkan hasil penelusuran yang dilakukan hukumonline, ditemukan sejumlah law firm yang namanya terdapat dalam daftar pemilik offshore corporation – laporan investigasi yang juga diliris oleh organisasi yang merilis Panama Papers, yaitu International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ).
Beberapa law firm membantah keterkaitan mereka dengan daftar itu, sedangkan beberapa law firm seperti Aji Wijaya & Co, Jurnalis & Ponto, dan Fifi Lety Indra & Partners mengklarifikasi hal tersebut dan meyakini bahwa yang merka lakukan telah sesuai dengan aturan yang berlaku.
SKMA 73 Jadi Penghalang
Sementara itu, usai menjelaskan langkah yang bisa diambil PERADI, Thomas mengatakan ada satu penghalang dari penanganan persoalan ini. Penghalang itu adalah dampak dari adanya Surat Ketua Mahkamah Agung No. 73/KMA/HK.01/IX/2015 yang membuka peluang bagi seluruh organisasi untuk mengajukan pengangkatan sumpah calon advokat.
“Advokat bisa saja menghindari panggilan pemeriksaan karena mereka akan berpikir ‘di organisasi sini kita diperiksa-periksa, di sana ngga’, dan juga toh dengan surat berita acara sumpah mereka tetap bisa beracara di pengadilan. Kita punya kewenangan untuk memanggil dia sebenarnya, tapi kalau dia merasa bukan anggota kami sehingga ngga bisa dipanggil ya bagaimana?” tutur pemilik kantor hukum yang berlokasi di Tebet, Jakarta ini.
Ia berharap, persoalan seperti ini menjadi bahan pertimbangan bagi seluruh stakeholder di Indonesia. “Nah ini yang seharusnya menjadi keprihatinan kita. Kita (lembaga penegak hukum, khususnya MA) harus bersinergi satu sama lain agar bisa saling menguatkan. Kalau misalnya organisasinya advokat bagus, advokatnya bagus, maka dengan sendirinya penegakkan hukum juga ikut serta jadi bagus,” pungkasnya.