Bila Ragu, Majelis Boleh Vonis Bebas Penyerang Novel
Utama

Bila Ragu, Majelis Boleh Vonis Bebas Penyerang Novel

Majelis dituntut mencermati kasus ini secara mendalam mulai pembuktian unsur kesengajaan dalam dokrin hukum pidana, mengurai rasionalitas motif yang membentuk niat jahat pelaku, hingga ada tuduhan pelaku fiktif. Putusan ini menjadi pertaruhan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

Perencanaan matang

Mudzakir melanjutkan Novel tak bisa dipisahkan dengan kelembagaan KPK dan penyidik KPK yang pernah membongkar sejumlah kasus besar yang melibatkan banyak pejabat negara. Dia menilai pelaku sebelum beraksi jahatnya itu mensurvei kediaman Novel terlebih dahulu. Pilihan waktu yang diambil pelaku menjalankan aksinya waktu shubuh yang diputuskan atas dasar hasil survei pelaku itu.

“Ini perencanaan yang matang, bukan ketidaksengajaan. Sehingga waktu dan tempat dipandang tepat dan aman bagi pelaku saat shubuh. Karena saat shubuh tindakan menyiram air keras kena apapun itu tindakan jahat. Dalam pidana, menyiram dengan air keras itu tindakan berat. Ternyata benar, Novel mengalami luka berat,” katanya.

Sayangnya, jaksa di persidangan seolah tak menggali lebih mendalam motif si pelaku. Malahan jaksa menilai akibat perbuatan tidak kesengajaan itu tuntutan menjadi 1 tahun penjara. Mudzakir pun mencermati tiga hal dalam kasus ini. Pertama, eksistensi korban sebagai orang yang tidak bersalah, malah disalahkan oleh tim penasihat hukum terdakwa dengan menuding kerusakan mata Novel akibat adanya medical error (malpraktik kedokteran). “Tapi ada buktinya atau tidak? Selama tidak ada dokumen otentik dari proses otopsi, itu menciderai keadilan korban,” kata dia.

Kedua, reputasi korban sebagai penyidik berprestasi. Dia membandingkan dengan kasus penusukan terhadap Wiranto yang dijerat dengan UU Pemberantasan Terorisme dengan tuntutan 16 tahun penjara. Selain itu, pada Maret 2017, ada kasus penyiraman air keras lantaran urusan asmara di Mojokerto Jawa Timur. Lamaji sebagai pelaku yang menyiram air keras ke wajah sang kekasih, dituntut 15 tahun penjara dengan menggunakan Pasal 353 KUHP jo Pasal 355 ayat (2) KUHP. Majelis Hakim memvonis terdakwa Lamaji dengan hukuman 12 tahun penjara.

Sementara dua terdakwa dalam kasus Novel menggunakan dakwaan primer Pasal 355 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang ancaman hukuman 12 tahun. Namun, jaksa menuntut dengan dakwaan subsider Pasal 353 ayat (2) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dengan ancaman 7 tahun penjara. Tapi, hanya dituntut 1 tahun penjara. “Jadi reputasi Novel sebagai korban hanya dihargai jaksa tuntutan 1 tahun?"

Ketiga, penghargaan terhadap korban. Menurutnya semakin menderita korban semestinya tuntutan hukuman yang diberikan jaksa ke terdakwa semakin tinggi. Sebaliknya, dalam kasus Novel malah negara gagal memberi rasa keadilan bagi korban yang semestinya diberi kompensasi. “Sayangnya, kompensasi pun tidak, tuntutan hukuman pun rendah. Abainya negara dalam memberi rasa keadilan akibat kegagalan aparat penegak hukum.”

Sementara Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Indragiri Riau, Fitri Wahyuni berpandangan tuntutan 1 tahun hukuman penjara dalam kasus Novel terbilang ringan dan belum relevan dengan nilai-nilai keadilan korban dan masyarakat. Dia menilai tanpa mempertimbangkan rasa keadilan dalam memberikan hukuman terhadap pelaku kejahatan menjadi permasalahan hukum di Indonesia.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait