Bola Salju Legislasi Bernama PPNS
Penyidik Pegawai Negeri Sipil:

Bola Salju Legislasi Bernama PPNS

Disadari atau tidak, pembentuk UU sering memasukkan klausula Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Tanpa persiapan matang, isu PPNS akan menggelinding laksana bola salju. Indikasinya sudah ada.

Oleh:
MYS/M-22
Bacaan 2 Menit
Pakar Hukum Pidana Prof. Andi Hamzah. Foto: RES
Pakar Hukum Pidana Prof. Andi Hamzah. Foto: RES
Pidato Ketua DPR, Setya Novanto, pada pembukaan masa sidang IV Tahun 2014-2015 menjadi bahan introspeksi tentang minimnya fungsi legislasi Dewan dan Pemerintah. Setya meminta DPR dan Pemerintah bekerjasama secara optimal, misalnya dengan menghidupkan kembali hari legislasi. Setya meminta pembahasan RUU diintensifkan.

Di satu sisi, DPR dikecam karena tak maksimal menjalankan fungsi legislasi. Tetapi di sisi lain, ada satu ‘kebiasaan’ legislasi yang layak mendapat perhatian: pengaturan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam Undang-Undang. Beberapa RUU target Prolegnas saat ini juga memuat klausula tentang PPNS.

Tengok misalnya RUU Paten. Pasal 135 RUU ini memberi wewenang khusus kepada PPNS di lingkungan kementerian yang menyelenggarakan urusan hukum untuk menyidik perkara paten. Penyidik Polri juga punya wewenang. Wewenang PPNS dalam bidang paten banyak, mulai pemeriksaan atas kebenaran laporan, menggeledah dan menyita, hingga menghentikan penyidikan. Sementara untuk penangkapan, penahanan, penetapan status DPO, atau cekal, PPNS bisa minta bantuan instansi lain yang berwenang.

Paten bukan satu-satunya bidang di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM yang punya PPNS. Hak cipta (UU No. 28 Tahun 2014), merek (UU No. 15 Tahun 2001), rahasia dagang (UU No. 30 Tahun 2000) dan desain industry (UU No. 31 Tahun 2000), desain tata letak sirkuit terpadu (UU No. 32 Tahun 2000), dan imigrasi (UU No. 6 Tahun 2011) juga mengenal PPNS. Di Kementerian ini, PPNS tak hanya ada di pusat, tetapi juga di kantor-kantor wilayah. Mereka diangkat oleh Menteri. Untungnya, mekanisme pengangkatan PPNS di sini pernah diatur lewat Permenkumham No. M.HH.01.AH.09.01 Tahun 2011.

Jika ditelusuri, ada banyak Undang-Undang yang memuat klausula tentang PPNS. Sekadar contoh saja PPNS dikenal dalam UU Narkotika, UU Kesehatan, dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan setidaknya diatur dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, dan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya.

Di bidang ekonomi, Kementerian Keuangan punya PPNS Bea Cukai (UU No. 17 Tahun 2006), PPNS Perpajakan, selain PPNS perlindungan konsumen dan PPNS Pasar Modal. Ahli hukum acara pidana, Prof. Andi Hamzah memperkirakan sekitar 80 Undang-Undang memuat norma tentang PPNS. Ia mengakui pengaturan yang ada saat ini sudah terlalu banyak sehingga kinerja PPNS tidak maksiaml. Malah tak terutup kemungkinan tumpang tindih.

Pengaturan tentang PPNS itu terus berlanjut hingga kini tanpa ada evaluasi dan pengawasan menyeluruh tentang kinerja PPNS yang sudah ada. Padahal berdasarkan PP No. 43 Tahun 2012, pengawasan terhadap PPNS meliputi antara lain pendataan penanganan perkara oleh PPNS serta analisis dan evaluasi pelaksanaan tugas penyidikan secara berkala. Pengawasan itu dilaksanakan Polri dan pimpinan instansi terkait.

Peraturan Kapolri No. 10 Tahun 2010 tentang Koordinasi, Pengawasan dan Pembinaan Penyidikan Bagi PPNS malah mengatur pendataan jumlah, instansi dan wilayah penugasan PPNS, penanganan perkara oleh PPNS dan bantuan penyidikan dari penyidik Polri.

Persoalan PPNS tak hanya pengawasan. Dalam ranah hukum, penting untuk memastikan bahwa Undang-Undang yang ada mengatur secara konsisten kedudukan PPNS dihubungan dengan aparat penegak hukum lain, khususnya Polri dan penuntut umum. Bukan saja lantaran ada hubungan kerja mereka, tetapi juga sejak awal rekrutmen PPNS dihubungan dengan otoritas Kapolri dan Jaksa Agung.

Pasal 3C ayat (1) PP No. 58 Tahun 2010 menegaskan calon pejabat PPNS harus mendapat pertimbangan dari Kapolri dan Jaksa Agung. Kalau dalam 30 hari sejak diajukan Kapolri dan Jaksa Agung tak memberikan pertimbangan, mereka dianggap setuju PPNS yang diangkat. Oh ya, PP ini mengatur perubahan atas PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP.

Seorang penyidik di Kementerian Hukum dan HAM mengatakan ketidakjelasan pengaturan pelaksanaan wewenang PPNS bisa berimbas pada tindakan yang dilakukan. Berdasarkan Pasal 38 KUHAP, misalnya, penyitaan dalam keadaan sangat perlu dan mendesak bisa dilakukan sebelum ada izin Ketua Pengadilan Negeri setempat.
Dalam perkara HKI, penyitaan khusus acapkali tidak diberi dengan dalih PPNS harus menetapkan tersangka lebih dahulu. Pasal 89 ayat (2) huruf e UU Merek memberi wewenang kepada PPNS untuk melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang merek.  

Problem koordinasi dan profesionalisme juga muncul di lapangan. Indikasinya sudah ada. Polri pernah menetapkan sejumlah PPNS Perpajakan di Jambi sebagai tersangka. Jika terus dibiarkan tanpa kejelasan mekanisme dan hubungan kerja, masalah-masalah hukum PPNS akan menjadi bola salju, semakin lama bisa semakin besar.
Tags:

Berita Terkait