Bongkar Jaringan Dulu Baru Eksekusi Mati
Pemberantasan Narkotika:

Bongkar Jaringan Dulu Baru Eksekusi Mati

Masyarakat sipil menilai ada yang salah dalam penanganan kasus narkotika.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
HRWG. Foto: SGP
HRWG. Foto: SGP
Sesuai komitmen yang pernah diungkapkan secara terbuka, Presiden Jokowi terus menolak permohonan grasi terpidana mati kasus narkotika. Pada akhir Desember 2014, grasi 12 terpidana ditolak Presiden. Pada 9 Januari lalu, Presiden kembali menolak grasi empat terpidana narkotika. Mereka adalah Martin Anderson (Ghana), Raheem Agbaje Salami (Spanyol), Rodrigo Gularte (Brasil), dan Zainal Abidin.

Meskipun proses hukum grasi sudah selesai, para terpidana mati tetap belum dieksekusi. Janji Kejaksaan mengeksekusi sejumlah terpidana belum terlaksana hingga kini. Penolakan terhadap eksekusi mati memang datang dari sejumlah kalangan, beberapa di antaranya lembaga swadaya masyarakat sipil.

Rabu (14/1), sejumlah organisasi masyarakat sipil kembali menyampaikan keberatan terhadap hukuman mati. Mereka meminta pemerintah melakukan moratorium hukuman mati. Putusan MK yang mengizinkan Peninjauan Kembali (PK) berkali-kali diapresiasi.

Wakil Direktur HRWG, Choirul Anam, berpendapat pemberantasan narkotika belum sampai pada tingkat membongkar jaringan mafia. Selama ini, kata dia, yang banyak disasar adalah kurir dan pemakai. Atas dasar itu, Anam berpandangan mengeksekusi terpidana mati kasus narkotika tidak akan berpengaruh banyak pada pemberantasan narkoba. “Membongkar jaringan mafia narkotika lebih penting bagi publik ketimbang menerapkan hukuman mati,” katanya di kantor HRWG di Jakarta, Rabu (14/1).

Anam menuding rencana eksekusi terpidana mati bukan untuk kepentingan publik, melainkan kepentingan politik pencitraan pemerintah. Jika pemerintah tetap ngotot mengeksekusi, sikap hati-hati dan cermat perlu. Pemerintah harus memastikan apakah yang akan dieksekusi itu mafia atau sebenarnya orang yang diperalat untuk menjalankan bisnis narkotika. “Pemerintah harus hati-hati, apakah yang dieksekusi mati itu mafia narkotika atau malah korban,” ujarnya.

Direktur LBH Masyarakat, Ricky Gunawan, menyebut kampanye pemerintah selama ini tentang narkotika kepada masyarakat salah kaprah. Sebab, lewat slogan say no to drug pemerintah mengkampanyekan bahwa narkotika itu jahat. Padahal, narkotika penting untuk ilmu pengetahuan, kesehatan dan teknologi. Lewat kampanye itu akibatnya saat ini segala sesuatu terkait narkotika dianggap jahat.

Bahkan dilingkungan aparat penegak hukum Ricky melihat ada perjanjian tidak tertulis yang memberi penghargaan terhadap aparat yang berhasil menangani kasus narkotika. Untuk mendapat penghargaan itu, aparat penegak hukum seolah berlomba mengungkap kasus narkotika. Praktiknya, itu membuka peluang terjadinya rekayasa kasus.

Ironisnya, dikatakan Ricky, UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika berkontribusi membuka peluang rekayasa kasus tersebut. Sehingga orang yang tidak mengetahui kalau tas yang dibawanya berisi narkotika dapat dijerat pidana. “UU Narkotika membuka kerentanan praktik rekayasa kasus,” urainya.

Ricky melihat pelaku kejahatan narkotika selalu dijatuhi hukuman mati. Tapi itu tidak berpengaruh terhadap turunnya tingkat kejahatan narkotika. Data BNN menunjukan kejahatan narkotika semakin meningkat, begitu pula dengan barang buktinya. “Hukuman mati terbukti tidak memberi efek jera terhadap pelaku kejahatan narkotika,” paparnya.

Selain itu kejahatan narkotika tergolong rumit karena jaringannya sangat banyak dan luas. Sehingga dalam kasus-kasus narkotika yang sering tertangkap hanya kurir. Kebanyakan, jaringan narkotika merekrut kurir yang berlatar belakang rentan seperti tidak punya akses ekonomi, sosial dan politik. Dalam banyak kasus, tidak jarang orang yang direkrut tidak mengetahui kalau dirinya dijadikan kurir narkotika. Akhirnya, yang seringkali tertangkap dan dijatuhi hukuman berat adalah kurir sedangkan mafia atau gembong besar narkotika lolos atau dihukum ringan.

Aktivis HAM, Usman Hamid, mengatakan sebelum melaksanakan hukuman mati pemerintah harus mempertimbangkan hak hidup setiap warga negara yang diatur UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Usman mengungkapkan sejumlah penelitian menyimpulkan pelaksanaan hukuman mati diskriminatif karena yang disasar kebanyakan orang yang minim akses terhadap ekonomi, sosial dan politik.

“Apakah pernah ada mantan pejabat negara (di Indonesia,-red) yang melakukan kejahatan pembunuhan atau narkotika lalu dihukum mati? Tidak ada,” tegas Usman.

Hukuman mati, Usman melanjutkan, tidak layak dilakukan karena pengadilan belum bebas dari praktik-praktik KKN. Misalnya, hakim atau jaksa masih bisa disuap. Menurutnya, hukuman mati adalah bentuk hukuman yang kejam. Indonesia bisa mengubah proses penghukuman yang kejam itu jadi manusiawi lewat lembaga pemasyarakatan sehingga tidak diperlukan lagi hukuman mati. “Lembaga pemasyarakatan itukan filosofinya mengupayakan agar pelaku kejahatan bisa dikembalikan ke masyarakat,” jelasnya.

Direktur Program Imparsial, Al Araf, menegaskan pemerintah harusnya menaati putusan MK tentang PK boleh lebih dari satu kali. Jika tidak maka menjadi langkah yang kontraproduktif bagi Indonesia sebagai negara hukum.

Selain itu Al mengingatkan Presiden Jokowi untuk berkomitmen terhadap terhadap pemajuan HAM sebagaimana tertuang dalam Nawa Cita. Salah satu bentuk pemajuan HAM adalah menghapus hukuman mati. Jika hukuman mati tetap dilakukan maka itu sebagai catatan awal buruknya penegakan dan pemenuhan HAM di era kepemimpinan Presiden Jokowi. “Setidaknya Presiden Jokowi harus melakukan moratorium hukuman mati,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait