Catatan Perludem Atas Kinerja Legislasi DPR untuk Memperkuat Sektor Kepemiluan
Terbaru

Catatan Perludem Atas Kinerja Legislasi DPR untuk Memperkuat Sektor Kepemiluan

Terdapat tiga UU yang seharusnya menjadi prioritas direvisi sebelum pelaksanaan pemilu serentak 2024 yakni revisi UU Pemilu, UU Pilkada, dan UU Partai Politik.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit

Baginya, pemungutan dan penghitungan suara, petugas tempat pemungutan suara (TPS) harus mengelola 5 surat suara. Termasuk pemilu proporsional terbuka anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, dengan tingkat kerumitan yang amat tinggi. Dia menilai pemilu serentak dalam kerangka hukum UU 7/2017 tidak membuat pembiayaan dan pengelolaan menjadi lebih efisien, tapi hanya menambah kompleksitas.

Mengenai UU 10/2016, kata Usep, DPR harusnya bertanggung jawab atas ketentuan yang dibuatnya dalam UU tersebut. Dia berpendapat melalui Pasal 157 ayat (1), (2), dan (3), DPR membuat ketentuan Badan Peradilan Khusus yang menangani perselisihan hasil pilkada. Semestinya, badan tersebut harus dibentuk sebelum pemilu serentak nasional. Namun pemerintah sepertinya tak serius menjalankan amanat pembentukan badan peradilan khusus dan hingga kini badan ini belum terbentuk.

Dia melanjutkan soal UU 10/2016, DPR tidak merevisi agar bentuk kerangka hukum yang relevan dalam konteks pandemi Covid-19. Menurutnya, International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) memetakan sejumlah negara yang tahun pemilunya bersamaan dengan pandemi Covid-19. Korea Selatan jadi satu dari sedikit negara yang melanjutkan pemilu dan sukses, tapi dengan banyak faktor, salah satunya adalah kerangka hukum pemilu yang relevan dalam pandemi.

“DPR tidak belajar dari Korea Selatan,” kritiknya.

Mengenai undang-undang partai politik, DPR yang disimpulkan oleh banyak survei sebagai lembaga negara yang paling tidak dipercaya, malah tidak melakukan revisi undang-undang partai politik. Menurutnya, publik tahu betul partai politik menjadi lembaga kaderisasi, pendidikan, dan pencalonan politisi menjadi anggota DPR. Konsekuensinya, partai politik malah menjadi lembaga yang setali tiga uang dengan DPR, tidak dipercaya.

“Merujuk nilai party identification sejak Pemilu 1999 hingga Pemilu 2019, partai politik semakin berkurang tingkat pengakarannya. Dari tiap periode pemilu, semakin banyak pemilih yang tidak berafiliasi atau tidak mau diidentikan dengan partai politik,” ujarnya

Dia berpendapat sejak reformasi 1998 UU Partai Politik telah direvisi 4 kali. Tapi sayangnya, makin lama direvisi sedari 1999 sampai 2011, partai politik di tanah air malah menjadi lebih buruk. Hal tersebut dapat dibandingkan perubahan regulasi partai politik mulai UU No.2 Tahun 1999; UU No.31 Tahun 2002; UU No.2 Tahun 2008; hingga UU No.2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.

Menurutnya, sejak awal direvisi pada 2002 silam hingga 2011, syarat pembentukan partai politik semakin berat. Sebab, membentuk partai politik dan menjadi peserta di pemilu, harus memiliki kantor dan kepengurusan di 100% provinsi, 75% kabupaten/kota, dan 50% kecamatan.

“Karena hanya orang ultra kaya yang bisa membentuk partai politik serta ongkos politik makin mahal, partai politik semakin jauh dari warga, lalu berkonsekuensi pada DPR yang semakin tidak dipercaya,” katanya.

Tags:

Berita Terkait