Catatan tentang Kewajiban Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Kontrak
Kolom

Catatan tentang Kewajiban Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Kontrak

Tulisan ini akan menguraikan catatan penulis terhadap Surat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengenai kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam kontrak, dikaitkan dengan fungsi Mahkamah Agung.

Bacaan 2 Menit

 

Poin kedua dan ketiga, terhadap pernyataan bahwa keberlakuan ketentuan Pasal 31 tersebut menunggu sampai dikeluarkannya Peraturan Presiden. Hal tersebut kurang tepat sebab Pasal 50 UU No. 10 Tahun 2004 mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan secara jelas menyebutkan bahwa peraturan perundangan-undangan mulai berlaku dan memiliki kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan sehingga UU No. 24/2009 seharusnya sudah berlaku pada tanggal 9 Juli 2009  sehingga terhadap perjanjian yang dibuat pada tanggal 9 Juli 2009 dan sesudahnya wajib menggunakan bahasa Indonesia dan bila perjanjian tersebut melibatkan pihak asing maka selain wajib menggunakan bahasa Indonesia juga ditulis menggunakan bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris .

 

Mengenai bunyi ketentuan Pasal 40 UU No. 24/2009 yang menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang penggunaan bahasa Indonesia diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden, ketentuan ini seharusnya diinterpretasikan bahwa Peraturan Presiden hanya akan mengatur detail penggunaan Bahasa Indonesia dalam perjanjian akan tetapi bukan berarti penangguhan berlakunya kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam perjanjian tersebut.

 

Poin keempat, terhadap kebebasan memilih bahasa  mana yang berlaku jika terdapat sengketa, terlepas dari pengakuan terhadap asas kebebasan berkontrak, seharusnya hal tersebut tidak dapat dilakukan. Sebab, esensi dari ketentuan pengaturan mengenai bahasa dalam UU No. 24/2009 ini adalah kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam perjanjian. Sehingga sudah seharusnya pilihan bahasa tersebut tidak dapat dilakukan terhadap kontrak yang dibuat di Indonesia dan memilih penyelesaian hukum di pengadilan Indonesia jika terjadi sengketa. Jika pilihan bahasa itu dapat dilakukan maka esensi dari ketentuan mengenai kewajiban penggunaan bahasa Indonesia menjadi sia-sia (lihat analisis di atas).

 

Kekuatan Mengikat Surat Menkumham

Ketentuan Keputusan Presiden No. 102 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terakhir dengan Keppres No. 35 Tahun 2004 (“Keppres No.35/2004”) salah satunya mengatur mengenai tugas, wewenang dan fungsi Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (sekarang Departemen Hukum dan Ham).

 

Namun tidak ada satu pun kewenangan yang secara tegas menyebutkan bahwa Departemen Hukum dan HAM dapat memberikan interprestasi terhadap ketentuan Undang-Undang  sehingga Surat Menkumham tersebut hanya akan dapat dipakai sebagai acuan para pihak yang berkepentingan saja dan tidak mengikat hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap sengketa terkait kewajiban penggunaan bahasa Indonesia tersebut.

 

Peran aktif Mahkamah Agung

Indonesia sebenarnya menganut konsep Trias Politica dimana terlihat dengan adanya pembagian kekuasaan antara eksekutif (pelaksana undang-undang), legislatif (pembuat undang-undang) dan yudikatif(mengadili atas pelanggaran undang-undang).

 

Lembaga yudikatif (dalam hal ini Mahkamah Agung dan badan peradilan) memiliki kewenangan memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum baik diminta atau tidak kepada Lembaga Tinggi Negara yang lain. Mahkamah Agung juga berwenang memberikan petunjuk kepada Pengadilan terkait kewenangan yang dimiliki Pengadilan dalam pemberian keterangan, pertimbangan dan nasehat-nasehat tentang hukum kepada Lembaga Negara lainnya bila diminta. Memang tidak disebutkan secara tegas mengenai apakah para pihak dalam perjanjian ataupun advokat dapat meminta fatwa terkait dengan interpretasi kewajiban penggunaan bahasa Indonesia ini, akan tetapi patut dicoba karena fatwa atau SEMA akan lebih efektif mengikat para hakim dalam memutus perkara. Tercatat bahwa pada tanggal 21 April 2004, MA pernah mengeluarkan fatwa atas permohonan seorang advokat (Henry Yosodiningrat) terkait dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No. 151 Tahun 2000 khususnya mengenai salah satu syarat bakal calon Kepala Daerah/wakilnya terkait penafsiran “tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana”. Meskipun hal ini masih mungkin diperdebatkan terkait dengan pemohon dan kewenangan MA menginterpretasikan ketentuan undang-undang bukan materi peraturan yang berada di bawah UU.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait