Cerminan KUHP Baru Kita
Kolom

Cerminan KUHP Baru Kita

Refleksi KUHP baru dapat dilihat dari dua dimensi, yakni dimensi material dan dimensi formal.

Bacaan 4 Menit
Aristo Pangaribuan. Foto: Istimewa
Aristo Pangaribuan. Foto: Istimewa

Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP/RKUHP) telah disetujui menjadi UU dalam rapat paripurna beberapa waktu lalu. Tampaknya “misi besar” yang telah berjalan sejak tahun 1960-an telah tuntas di masa pemerintahan presiden Joko Widodo. Karena RKUHP akan telah disetujui menjadi UU, tulisan ini hadir sebagai bentuk refleksi sekaligus rekomendasi dalam pelaksanaan KUHP yang baru nantinya.

Di dalam bagian penjelasan umum KUHP baru, dikatakan bahwa Indonesia perlu memiliki hukum pidana-nya sendiri sebagai refleksi dari nilai-nilai dan norma bangsa Indonesia. Mengacu kepada penjelasan ini, pertanyaannya adalah, bagaimana kita sebagai masyarakat harus melihat refleksi KUHP baru?

Di dalam menjawab pertanyaan ini, kita harus melihat refleksi tersebut dalam dua dimensi. Pertama, dimensi material, yakni substansi pasal per pasal dan yang kedua, dimensi formal, yakni penegakan hukum (hukum acara atau KUHAP) terhadap pasal KUHP baru nantinya. Dua dimensi ini saling terasosiasi satu sama lain, karena nantinya pelaksanaan KUHP sepenuhnya merupakan diskresi aparatur penegak hukum.

Baca juga:

Dalam dimensi yang pertama, di seluruh dunia, hukum pidana adalah refleksi bagaimana negara memosisikan dirinya dalam hubungannya dengan individu atau warga negaranya. Pada hakikatnya, hukum pidana mendefinisikan apa yang disebut kejahatan di dalam masyarakat. Sederhananya, ideologi sebuah negara secara konkret dapat dilihat dari desain hukum pidanannya.

Terkadang, definisi pidana tersebut memang memasuki moralitas dan ranah privat yang berkaitan dengan hak individu. Oleh karena itu, seperti yang kita lihat, kontroversi terhadap KUHP baru kita hampir selalu berkaitan dengan dua hal tersebut. Misalnya, pasal mengenai penghinaan terhadap otoritas, lembaga tinggi negara, tindak pidana terhadap ideologi negara, kohabitasi dan demonstrasi.

Gambaran refleksi yang dapat dilihat melalui logika ini adalah, negara menempatkan hak individu atau hak asasi manusia bukan sebagai prioritas utama, karena ada beberapa instrumen kekuasaan yang disediakan oleh KUHP untuk memasuki ruang-ruang privat dan kebebasan berekspresi. Bahkan, bab pertama dalam buku kedua tindak pidana dalam KUHP mengatur bagaimana seharusnya otoritas negara dilindungi dari warga negaranya. Terlebih lagi, KUHP baru ini juga memiliki lebih banyak pasal (sekitar 625) daripada KUHP lama (sekitar 569 tidak termasuk yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi).

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait