Daftar Konten Hoax yang Curi Perhatian Publik di 2018
Lipsus Akhir Tahun 2018:

Daftar Konten Hoax yang Curi Perhatian Publik di 2018

Maraknya penyebaran berita hoax tentu menjadi perhatian pemerintah. Meski demikian, masyarakat tentunya perlu bijak dalam menerima dan menyebarkan informasi.

Oleh:
M. Agus Yozami
Bacaan 2 Menit

 

Adapun terkait delik pencemaran nama baik atau fitnah berdasarkan pasal 27 ayat (3) UU ITE, tambah Miko, hal yang penting untuk ditekankan adalah penghinaan itu terhadap ‘orang’ atau ‘manusia’. Karena yang dinamakan penghinaan itu, kata Miko, berdasar pada niat untuk merendahkan kehormatan atau wibawa ‘seseorang’.

 

“Jadi seseorang itu orang, manusia, karena yang punya rasa itu manusia,” tukas Miko.

 

Lebih lanjut dijelaskan Miko, bahwa penghinaan itu adalah soal perasaan karena yang punya perasaan itu adalah manusia maka penekanannya adalah ‘orang’ atau ‘manusia’. Itu pulalah yang menurut Miko menjadi alasan mengapa delik penghinaan atau pencemaran nama baik itu masuk ke dalam kategori delik aduan. Sehingga ‘orang yang merasa’ direndahkan itu bisa mengadukannya seperti diatur dalam Pasal 310 dan 311 KUHP.

 

(Baca Juga: Etika Bermedia Sosial yang Perlu Dipahami Agar Tak Terjerat Hukum)

 

Miko memberikan permisalan, mengapa pasal penghinaan presiden dihapuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK)? Karena salah satu dasarnya adalah jabatan presiden itu tidak mempunyai perasaan, sehingga tidak memiliki perasaan ketersinggungan. Bahkan, kata Miko, ada putusan MK tentang pengujian UU ITE yang menegaskan bahwa untuk membaca pasal 27 ayat (3) UU ITE itu harus senafas dengan pasal 310 dan 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

 

Untuk diketahui, MK dalam Putusan No.50/PUU-VI/2008 menyatakan bahwa penafsiran norma yang termuat dalam pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak bisa dilepaskan dari genus-nya, yakni norma hukum yang termuat dalam pasal 310 dan 311 KUHP, sehingga penerapannya tidak bisa menggunakan delik biasa, melainkan harus menggunakan delik aduan.

 

Adapun delik lainnya yang bisa dikenakan kepada penyebar konten hoax, kata Miko, adalah delik penghapusan diskriminasi ras dan etnis sebagaimana diatur dalam UU No. 40 Tahun 2008. Namun pengenaan delik ini, sambung Miko, hanya jika memenuhi klausul-klausul dan kondisi tertentu seperti apakah konten hoax yang disebarkan tersebut bernuansa permusuhan dan ada anasir menimbulkan kebencian terhadap kelompok ras atau etnis tertentu? Jika ada, barulah delik itu bisa dimasukkan.

 

Maraknya penyebaran berita hoax tentu menjadi perhatian pemerintah. Meski demikian, masyarakat tentunya perlu bijak dalam menerima dan menyebarkan informasi. Semua kalangan tentu berharap pada 2019 berita-berita hoax bisa berkurang, bahkan lenyap dari tengah masyarakat. Untuk mewujudkan itu tentunya perlu kerjasama antar semua pihak.

 

Tags:

Berita Terkait