Dalam Perceraian, Anak Tak Bercerai dari Orang Tua
Kolom

Dalam Perceraian, Anak Tak Bercerai dari Orang Tua

​​​​​​​Konflik yang terjadi di rumah maupun proses persidangan yang menyita perhatian orang tua, kerabat maupun publik, sudah harusnya direspons.

Bacaan 2 Menit

 

Dalam UU Perkawinan tidak disebutkan secara eksplisit perihal pertimbangan dalam pemeliharaan anak pasca perceraian. Dari studi putusan di atas diketahui bahwa majelis hakim seringkali mengutip kepentingan terbaik bagi anak menjadi dasar memutus hak pemeliharaan anak. Pertimbangan majelis hakim dalam penjatuhan hak pemeliharaan antara lain: pengasuhan anak secara nyata memang dominan pada salah satu pihak khususnya anak di bawah 12 tahun oleh ibu, salah satu pihak dipandang lebih bertanggung jawab, kedekatan anak dengan salah satu pihak, kemampuan finansial, pilihan anak dan alasan teknis pemeliharaan lain.

 

Studi terhadap 98 putusan di atas menunjukkan bahwa dalam memeriksa perkara perceraian, majelis hakim memeriksa alat bukti surat termasuk di dalamnya akta kelahiran anak dan saksi-saksi yang meliputi: kerabat, tetangga, anak, orang tua dan teman dari pasangan yang bercerai. Tercatat ada sembilan putusan yang mendengarkan keterangan anak (yang telah memasuki usia pubertas). Anak hanya dimintai keterangan dengan mempertimbangkan tingkat kecerdasan dan usia anak sesuai amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Melibatkan anak dalam persidangan, hanya akan membuat mereka menjadi korban berulang kali (David Saposnek, 1983).

 

Lantas apakah alat bukti surat maupun keterangan saksi dipandang cukup bagi hakim dalam memutus kepentingan terbaik bagi anak. Studi putusan di atas menunjukkan, kondisi anak bagi fisik dan psikis misalnya tidak didukung dengan alat bukti yang memadai. Belum lagi soal pemeliharaan anak pada saat persidangan cerai berlangsung. Dalam kondisi ibu dan bapak sedang berkonflik, pemeliharaan atas anak luput dari perhatian. Pada konteks itu, dapat disimpulkan, perlindungan hukum preventif saja dalam UU Perkawinan tidaklah cukup.

 

Perlindungan anak dalam perceraian menjadi isu krusial di manapun. Tidak ada satu negara pun yang dapat dikatakan menyediakan pengaturan dan penyediaan sarana yang sempurna. Tentu hal tersebut tidak menghalangi, untuk belajar hal baik dari negara lain. Negara-negara common law system, contohnya Amerika Serikat, menggunakan putusan hakim terdahulu untuk merumuskan faktor-faktor penentuan kepentingan terbaik bagi anak (Andrea Charlow, 1987).

 

Sistem peradilan, di Amerika Serikat, misalnya, didukung oleh guardian ad litem. Mereka adalah orang yang ditunjuk oleh pengadilan untuk menyelidiki kondisi keluarga dan memberikan rekomendasi pemeliharaan hak anak. Rekomendasi yang diberikan bersifat obyektif karena guardian ad litem bukan keluarga maupun teman dari pasangan yang bercerai.

 

Langkah ke Depan

Catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sepanjang 2011-2016, terdapat 4.292 pengaduan tentang anak menjadi korban dalam pengasuhan (KPAI, 2018). Konflik yang terjadi di rumah maupun proses persidangan yang menyita perhatian orang tua, kerabat maupun publik, sudah harusnya direspons.

 

Salah satunya adalah mendorong Mahkamah Agung menerbitkan peraturan tentang anak dalam perkara perceraian yang mengatur prinsip-prinsip dalam memutus nasib anak, faktor-faktor yang dapat digunakan untuk menentukan kepentingan terbaik bagi anak, alat bukti yang digunakan, prosedur pemeriksaan anak di muka sidang (jika dibutuhkan) dan sarana pendukung pemeliharaan anak selama masa persidangan.

Tags:

Berita Terkait