Dana Tercampur, Angka 25 Jadi Solusi
Kasus Yayasan Supersemar:

Dana Tercampur, Angka 25 Jadi Solusi

Lantaran dana kucuran pemerintah sudah tercampur aduk tak jelas dengan dana pihak lain, Majelis mengambil angka aman menghukum sebesar 25 persen dari nilai tuntutan pemerintah.

Oleh:
NNC/Rzk
Bacaan 2 Menit
Dana Tercampur, Angka 25 Jadi Solusi
Hukumonline

 

Disamping itu, melongok pada alat bukti rekapitulasi penyaluran beasiswa dan bantuan  Yayasan Supersemar sepanjang tahun 1975-2007, Majelis meyakini uang dana dari pemerintah itu telah digunakan untuk keperluan pemberian beasiswa—meski belum seluruhnya.

 

Dalam pertimbangannya, Majelis menganggap angka 25 persen—dari tuntutan JPN sebesar AS$420 juta plus Rp185,9 miliar, merupakan angka tengah yang cukup fair untuk menghukum Supersemar. Sebab, dari uang sebesar itu, selain telah  dipinjamkan (dibisniskan) oleh Yayasan ke perusahaan lain, Majelis meyakini kesemua uang itu bukan berasal dari pemerintah. Uang dari pemerintah, Sebagian besar telah digunakan untuk keperlun beasiswa dan bantuan olahraga serta anak asuh dan lain sebagainya, ucap Wahjono.

 

Lagi pula, Majelis mempertimbangkan niatan Yayasan menyalurkan dana untuk kepentingan sosial dan pendidikan. Sebab, meski kucuran dana dari pemerintah telah dihentikan sejak 1998, ternyata Yayasan tetap memberikan beasiswa kepada siswa dan mahasiswa dan keperluan sosial lainnya sampai dengan saat ini.

 

Penentuan hukuman 25 persen ditujukan Majelis untuk memenuhi prinsip Welfare State yang mengurusi kesejahteraan rakyat termasuk pencerdasan rakyat. Logika Majelis: Bila negara terlalu banyak mengambil uang Yayasan, dikhawatirkan Yayasan tidak akan sanggup lagi membiayai beasiswa untuk siswa dan mahasiswa yang hingga sekarang masih berjalan.

 

Meski demikian, Majelis tetap mengganggap kegiatan bisnis yang dilakukan Yayasan dari uang itu sebagai perbuatan melawan ketentuan PP No. 15/1976 dan Keputusan Menteri Keuangan No. 333/1978. Inilah yang menjadi dasar Majelis menghukum Yayasan. Hanya saja, ketiadaan bukti baik dari Yayasan maupun JPN dalam merinci uang tercampur itu, majelis berketetapan memunculkan angka 25 persen.

 

Belum berhenti di situ, Majelis juga mengingatkan Pemerintah. Bila nantinya uang 25 persen itu telah kembali ke kantong negara, sebaiknya dialokasikan kembali untuk keperluan bea siswa. Majelis melihat masih banyak rakyat Indonesia memerlukan uang tersebut untuk biaya pendidikan. Sebaliknya, Yayasan juga diminta Majelis supaya segera menagih pinjaman-pinjaman yang telah digelontorkan ke sejumlah pihak ketiga untuk mengembalikan uang pada negara.

 

Tuntutan JPN agar ganti kerugian immateriil sebesar Rp10 triliun ditolak oleh Majelis lantaran tidak didasari fakta terperinci, melainkan ketakutan dan penaksiran JPN semata. Alasan JPN menuntut ganti rugi immaterial adalah adanya sejumlah besar siswa yang kehilangan kesempatan mendapat biaya pendidikan akibat tidak segera digelontorkannya uang pemerintah di Yayasan Supersemar. Setelah diperhatikan, surat gugatan penggugat ternyata tidak menjelaskan, berapa jumlah siswa yang kehilangan kesempatan tersebut, ucap Wahjono.

 

Di samping itu, Majelis berpendapat, dari perspektif  hukum administrasi negara, negara tidak diperkenankan menggugat atas nama suatu golongan masyarakat, siswa, mahasiswa atau orang tertentu. Gugatan, papar Majelis,  harus diajukan semata-mata untuk kepentingan negara.

 

Lolosnya Soeharto

Lolosnya Soeharto dari jeratan gugatan melawan hukum tentu mengagetkan Dachmer Munthe. Sebab, jika Yayasan dinyatakan melawan hukum maka semestinya Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Ketua Yayasan mestinya ikut pula bertanggungjawab. Namun, Majelis memang berpandangan lain.

 

Penggunaan dana yayasann untuk penyertaan modal di sejumlah perusahaan swasta—papar Majelis dalam putusannya—sama sekali tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Yayasan. Karena yang melawan ketentuan PP dan KMK adalah Yayasan Supersemar, maka Majelis menilai  yayasan sebagai badan hukum sajalah yang harus bertanggungjawab, bukan pribadi. Dengan demikian, pengurus pada saat inilah yang bertanggungjawab atas perbuatan melawan hukum tersebut.

 

Sedangkan Soeharto, meski saat itu menjabat sebagai Ketua Yayasan, sesuai Pasal 9 ayat 2 AD/ART Yayasan Supersemar, ia telah memberikan laporan pertanggungjawaban dan telah diterima Badan Pengawas Yayasan. Dengan begitu, Para ahli waris Tergugat I juga tidak bisa dinyatakan melakukan Perbuatan Melawan Hukum, ucap Aswan Nurcahyo. Intinya, Majelis menganggap Soeharto yang waktu itu duduk sebagai pengurus hanya menjalankan tugas yayasan dan telah sesuai dengan ketentuan dalam AD dan ART Yayasan.

 

Salah satu anggota Tim Kuasa Hukum Ahli Waris Soeharto dan Supersemar, Juan Felix Tampubolon menyatakan puas dengan putusan terhadap Soeharto. Itu memenuhi  harapan kami seperti dalam pembelaan yang kami ajukan, ujarnya. Namun, untuk ketokan hakim terhadap Yayasan, Kami tidak sependapat dengan Hakim. Setelah kami bicarakan dengan klien kami, pada saat ini juga kami akan menyatakan banding.

 

Ditemui terpisah di sela acara diskusi di Jakarta, Koordinator Indonesia Corruption Watch Teten Masduki mengaku tidak heran dengan keluarnya putusan hakim atas perkara Supersemar itu. Sejak awal saya sudah menduga putusan akan seperti ini, ujarnya bak cenayang kesiangan. Saya tidak heran. Konstruksi gugatan yang diajukan jaksa memang begitu adanya, pungkasnya.

Ini memang putusan agak aneh, komentar Ketua Tim Jaksa Pengacara Negara (JPN) Dachmer Munthe usai dibacakan putusan perkara  Pemerintah melawan almarhum Soeharto dan Yayasan Supersemar, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (27/3).  Yang pasti, poinnya kita sudah dapat. Perbuatan melawan hukum yang kami dalilkan selama ini terbukti, tandasnya.

 

Siang itu, Majelis Hakim PN Jakarta Selatan yang dipimpin Wahjono—beranggotakan Aswan Nurcahyo dan Eddi Risdiyanto—membacakan putusan perkara gugatan pemerintah terhadap almarhum Soeharto dan Yayasan Supersemar. Palu hakim diayun, Majelis menyatakan Soeharto tidak terbukti melakukan perbuatan melawan hukum seperti didalilkan penggugat.

 

Sebaliknya, Yayasan Supersemar dinyatakan telah menyelewengkan kucuran dana pemerintah dan dihukum membayar kerugian negara sebesar AS$105,7 juta plus Rp46,4 miliar. Jumlah itu adalah 25 persen dari jumlah uang yang telah digelontorkan pemerintah melalui Peraturan Pemerintah No.15/1976 dan Surat Keputusan Menteri Keuangan No.333/1978 yang berkaitan dengan pemanfaatan sebagian dari sisa laba bersih bank-bank milik pemerintah.

 

Majelis masih meragukan uang di Yayasan Supersemar keseluruhannya berasal dari pemerintah. Mengacu pada keterangan dua saksi di persidangan, pendanaan Yayasan  Supersemar merupakan campuran dari berbagai sumber, antara lain dari almarhum Soeharto,  White Foundation and corporation, PT Garuda Indonesia Airlines, Dirjen kehutanan, Bank Duta, PT Bogasari dan masih banyak lainnya.

Tags: