​​​​​​​Debat Pilpres 2019: Make Indonesia Laugh Again Oleh: Ulwan Fakhri*)
Kolom

​​​​​​​Debat Pilpres 2019: Make Indonesia Laugh Again Oleh: Ulwan Fakhri*)

​​​​​​​Butuh suara dari milenial? Suapi saja dengan humor! Mereka inilah konsumen humor garis keras alias comedy native.

Bacaan 2 Menit

 

Sementara pionir humor di debat presiden Negeri Paman Sam, Ronald Reagan, punya cerita sendiri. Di debat kedua pemilihan presiden tahun 1984, Reagan – yang waktu itu berumur 73 tahun dan tercatat sebagai presiden AS tertua dalam sejarah – menggunakan humor untuk mengakui “kesenioritasannya” sembari menyindir penantangnya, Walter Mondale.

 

“Saya tidak akan mengeksploitasi, untuk kepentingan politik, usia muda dan kurangnya pengalaman lawan saya,” kata Reagan kala menjawab pertanyaan bersejarah dari salah satu panelis, Henry Trewhitt, sembari meyakinkan publik bahwa ia masih mumpuni secara fisik untuk menjadi AS 1 yang kedua kalinya. Mondale tertawa, hadirin juga girang dan mengapresiasi kecerdikan Reagan dengan tepuk tangan.

 

Disertasi David Rhea (2007) menjadi sangat seksi untuk dicatut, terkait usulan agar debat capres dan cawapres di Pilpres 2019 disemarakkan dengan unsur humor. Penelitiannya terhadap 24 siaran debat pemilihan presiden Amerika Serikat dari tahun 1960 sampai 2004 membuktikan bahwa adopsi humor dalam diskursus publik tersebut adalah hal yang wajar.

 

Ketika tak satu pun kandidat yang melontarkan humor di tujuh kali debat Pilpres AS tahun 1960 dan 1976, suasana debat mulai dihiasi candaan di era 80-an. Tahun 1988 bahkan menjadi periode debat “paling cair”, dengan rata-rata lebih dari 20 unsur humor setiap debatnya. Rata-rata penggunaan humor yang tinggi itu masih bertahan hingga 1996.

 

Kendati pada debat antarkandidat presiden AS di tahun 2004 penggunaan humor mengalami titik terendah dibandingkan 20 tahun sebelumnya – karena dominannya pembahasan akan perang di Iraq yang “serius”, tetapi ia sama sekali tidak luntur. Di debat kandidat terakhir tahun 2016 lalu pun Donald Trump dan Hillary Clinton sempat melempar satu-dua jokes, walau situasinya cukup tegang.

 

Hal ini dikarenakan, sedikit banyak, para kandidat menyadari kalau humor dapat memainkan peran penting dalam menyokong kredibilitasnya serta memberikan kesan positif ke masyarakat. Bahkan, lewat satir atau sindiran humoristis ke oposisinya, si kandidat berpotensi menuai lebih banyak simpati publik yang diharapkan berpengaruh ke perolehan suaranya (Partington dan Taylor, 2018).

 

Di sisi lain, penelitian tersebut turut mengungkap kalau kandidat yang humoris juga menggairahkan bagi media massa. Secara statistik, sirkulasi pemberitaan di koran AS pascadebat meningkat jika ada humor sensasional dari sang kandidat. Tentunya, di sistem politik elektoral yang amat bergantung pada popularitas, humor layaknya diberdayakan betul di momen seperti ini.

Tags:

Berita Terkait