Diharapkan Revisi Tak Dibatasi 4 Pasal dalam UU ITE
Terbaru

Diharapkan Revisi Tak Dibatasi 4 Pasal dalam UU ITE

Pembentuk UU perlu mencermati semua ketentuan UU ITE yang memang perlu direvisi. Terpenting, revisi UU ITE tak boleh kontradiktif dengan hak kebebasan berekspresi masyarakat melalui ruang digital.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit

Untuk itu, dia menyarankan dalam rangka menghasilkan UU ITE yang komprehensif, pembentuk UU perlu mencermati semua ketentuan yang memang perlu direvisi sesuai landasan filosofis, sosiologis dan yuridis. Terpenting, revisi UU ITE tidak boleh kontradiktif atau menghalangi/membatasi hak kebebasan berekspresi masyarakat melalui ruang digital.

"Revisi ini juga perlu melibatkan akademisi baik ahli pidana maupun ahli bahasa agar menghindari frasa yang multitafsir dan tidak disalahgunakan. DPR segera menyambut usulan pemerintah ini agar segera melakukan pembahasan secara bersama-sama,” ujarnya.

Memperbaharui seluruh materi

Terpisah, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar menilai kebutuhan revisi UU ITE menjadi momentum memperbaharui seluruh materi UU ITE dengan beberapa alasan. Pertama, perbaikan sejumlah ketentuan pidana, khususnya Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 UU ITE yang sebenarnya masuk kualifikasi cyber-enabled crime atau kejahatan konvensional yang diekstensifikasi menggunakan komputer.

Tapi, perumusannya dipersamakan dengan cyber-dependent crime atau kejahatan yang muncul karena adanya teknologi komputer. Padahal, proses pembuktian keduanya setiap unsurnya berbeda-beda. Karena itu, perumusannya jenis pasal ini semestinya dibedakan. Terbukti, dalam penerapan UU ITE ini kerap muncul persoalan terutama pasal-pasal cyber-enabled crime. “Untuk ketentuan pidana cyber-dependent crime (Pasal 30-Pasal 35) relatif tidak ada permasalahan,” kata dia.

Kedua, pengaturan kembali tata kelola konten internet. Sebab, selama ini lebih menekankan pada aspek pembatasan sebagaimana diatur Pasal 40 ayat (2) UU ITE. Perumusan Pasal 40 ayat (2) huruf b UU ITE memberi wewenang bagi pemerintah untuk melakukan pembatasan terhadap konten internet yang melanggar peraturan perundang-undangan (illegal content).


Sayangnya, dalam pengaturan pasal tersebut belum secara jelas menyebutkan jenis-jenis konten yang melanggar undang-undang seperti apa dan jenis bahaya (harmfull) apa yang mengancam? Selain itu, UU ITE belum mengatur prosedur dalam melakukan pembatasan. Termasuk peluang untuk melakukan pengujian terhadap tindakan pembatasan tersebut (judicial oversight).


Mengacu pada prinsip dan instrumen HAM, setiap tindakan pembatasan terhadap hak termasuk di dalamnya hak atas informasi harus memenuhi tiga hal. Pertama, diatur oleh hukum (prescribed by law). Kedua, untuk tujuan yang sah (legitimate aim). Ketiga, tindakan itu betul-betul mendesak diperlukan (necessity). “Prinsip-prinsip pembatasan inilah yang semestinya dirumuskan secara baik dan ketat dalam UU ITE guna menghindari praktik pembatasan konten (blocking and filtering) yang sewenang-wenang oleh pemerintah,” paparnya. 

Tags:

Berita Terkait