Dilarang Ikut Pemilukada, Mantan Napi Gugat UU Pemda
Berita

Dilarang Ikut Pemilukada, Mantan Napi Gugat UU Pemda

Pemohon dinilai keliru. Pasal yang dipersoalkan tidak berkaitan dengan persyaratan menjadi calon kepala daerah.

ASh
Bacaan 2 Menit
Dilarang ikut Pemilukada mantan napi gugat UU Pemda. Foto: ilustrasi (Sgp)
Dilarang ikut Pemilukada mantan napi gugat UU Pemda. Foto: ilustrasi (Sgp)

Dua mantan narapidana kasus korupsi, Sudirman Hidayat dan Samsul Hadi Siswoyo merasa dirugikan Pasal 58 huruf (f) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Alasannya, aturan yang melarang narapidana ikut pemilihan kepala daerah (Pemilukada) jika terjerat kasus pidana dengan ancaman hukuman di atas lima tahunitumenghambat hak-hak politik pemohon untuk menjadi kepala daerah.

“Para pemohon setelah dibebaskan masih merasa dirugikan hak-hak politiknya terutama  untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah akibat keberadaan Pasal 58 huruf (f) UU Pemda. Para pemohon kembali selayaknya seperti warga negara lainnya sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 UU No. 12 Tahun 1995,” kata kuasa hukum pemohon, Andi Muhammad Asrun dalam pemeriksaan pendahuluan di gedung MK, Selasa (28/8).

Namun, pemohon justru memohon pengujian Pasal 3 UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan berikut penjelasannya. Pasal tersebut menyebut setelah bebas, mantan napi dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.

Menurut Asrun larangan yang menghalangi para pemohon lebih berkaitan dengan penafsiran atas frasa “...dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab” dalam Pasal 3 UU Pemasyarakatan. Penafsiran itu dinilai tidak utuh karena secara faktual para pemohon tidak kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab, tetapi diberikan hukuman tambahan berupa pencabutan hak-hak politiknya.

“Karena itu, pemohon meminta frasa itu ditafsirkan ‘...dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab, termasuk hak dipilih sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah atau anggota DPR/DPRD/DPD,” pinta Asrun.

Logika itu, menurut Ketua Majelis Panel Hakim, M Akil Mochtar dinilai keliru. Menurut Akil, seharusnya yang dimohonkan pengujian adalah Pasal 58 huruf (f) UU Pemda yang dianggap menambah bentuk “hukuman” lain selain hukuman pidana terutama terkait hak-hak politiknya. "Menurut saya logika berpikir pengujian UU ini terbalik,” kritik Akil saat memberikan saran atas permohonan.

Akil menilai pasal yang diuji sebenarnya tidak berkaitan dengan persyaratan menjadi calon kepala daerah. “Yang Anda uji seharusnya pasal 58 huruf f UU Pemda dengan dikonstantir/dihubungkan dengan Pasal 3 UU Pemasyarakatan, seharusnya ketika seorang narapidana itu bebas clear soal hukuman tanpa ada tambahan “hukuman” tambahan yang lain, itu seharusnya yang Anda jelaskan,” saran Akil.

Sebelumnya, MK sendiri pernah memutus pengujian Pasal 58 huruf f UU Pemda ini. MK  menyatakan pasal itu inkonstitusional bersyarat. Artinya, pasal itu dinyatakan inkonstitusional jika tidak memenuhi empat syarat yang ditetapkan.

Empat syarat itu, pertama, tak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected officials). Kedua, berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama lima tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya. Ketiga, dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Keempat, bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.

Tags: