“Perjuangan memperoleh keadilan tetap kita lanjutkan, kita patuh hukum memenuhi prosedur hukum, tapi tidak berarti tunduk pada ketidakadilan kedzaliman”. Demikian pernyataan yang disampaikan Dosen Fakultas MIPA Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Saiful Mahdi saat menyambangi Kejaksaan Negeri Banda Aceh untuk menjalani eksekusi putusan pengadilan selama tiga bulan mendekam di balik jeruji besi dalam kasus pencemaran nama baik, Kamis (2/9/2021).
Saiful mendatangi Kejari (Kejari) Banda Aceh diantar sang istri dan penasihat hukumnya. Putusan Pengadilan Negeri (PN) Banda Aceh menghukum Saiful dengan hukuman 3 bulan penjara dan denda sebesar Rp10 juta subsider 1 bulan kurungan. Dalam putusan ini, majelis hakim sepakat dengan tuntutan penuntut umum. Saiful dinilai melanggar Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) UU No.19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Atas putusan itu, upaya hukum banding telah diajukan. Tapi, putusan banding menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama. Tak puas, Saiful mengajukan upaya hukum kasasi. Lagi-lagi, majelis hakim kasasi mengamini atau menguatkan putusan tingkat pertama dan banding tersebut. Padahal, sudah terdapat Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pedoman Kriteria Implementasi UU No.19 Tahun 2016. Namun, majelis kasasi tak mempertimbangkannya.
Ketua Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan pandangan hukum di Indonesia kerap menyebut kasus yang penuh rekayasa sebagai peradilan sesat. Banyak orang dihukum pengadilan, tapi sejatinya tidak bersalah. Misalnya, dalam perkara yang menjerat Saiful Mahdi, sejatinya hanya mengkritik sistem penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) pada Fakultas MIPA universitas tempatnya mengajar.
Saiful, kata Isnur, membuka persoalan tersembunyi dalam proses rekrutmen CPNS di Fakultas MIPA Unsyiah. Tapi, Saiful malah mengalami serangan balik, seperti halnya aktivis pegiat anti korupsi dan hak asasi manusia (HAM). Dalam proses persidangan di PN Banda Aceh, Guru Besar Komunikasi Univesitas Airlangga (Unair), Prof Henri Subiakto menilai kritik Saiful tak dapat dibawa ke ranah pidana. Apalagi pemerintah mengakui UU 19/2016 mengandung masalah dalam penerapannya yang perlu diperbaiki atau direvisi.
“Saiful menjadi korban karena proses peradilan sesat,” ujar Muhammad Isnur dalam konferensi pers bertajuk “Amnesti untuk Saiful Mahdi” secara daring, Kamis (2/9/2021).
Isnur mengatakan alasan mengajukan amnesti lantaran berbagai upaya hukum telah ditempuhnya hingga tingkat kasasi di MA. Namun, cara pandang hakim mulai pengadilan tingkat pertama hingga kasasi konservatif dan enggan melihat dinamika perkembangan hukum yang terjadi. Amnesti merupakan hak prerogatif presiden untuk menghapus hukuman yang kewenangan ini diatur konstitusi. Harapannya, Presiden Jokowi dapat mengabulkan upaya permohonan amnesti yang diminta Saiful beserta tim penasihat hukumnya.
“Diharapkan upaya membungkam kebebasan berpendapat, berpikir, berekspresi tak lagi terjadi,” kata Isnur.
Menurutnya, SKB tentang Pedoman Kriteria Implementasi UU 19 Tahun 2016 dibentuk secara tidak langsung mengakui perlunya revisi UU 19/2016. “Ini berkorelasi agar Presiden Jokowi dapat memberikan amnesti terhadap Saiful. Jangan sampai korban sudah dieksekusi, baru dilepas. Mumpung ada waktu Saiful rela dan berani, tapi tidak mengurangi hak presiden memberikan amnesti,” katanya.
Direktur Eksekutif SAFEnet, Damar Juniarto menilai kemerdekaan berekspresi terganjal dengan berlakunya pasal-pasal karet dalam UU 19/2016 yang selama ini terus menjadi masalah serius. Selama ini UU ITE ini berlaku masyarakat mengalami ketakutan untuk mengeluarkan pendapatnya di media sosial karena sangat potensial berhadapan dengan hukum secara represif. Seperti yang dialami Saiful Mahdi.
Baginya, masih ada peluang yang mesti dicoba yakni meminta Presiden Jokowi menggunakan kewenangannya memberi amnesti. Sebab, pengalaman kasus Baiq Nuril ke Istana mendapat amnesti dari presiden. Diharapkan Saiful mudah mendapatkan hal serupa. Dalam kasus Baiq, amnesti yang diberikan presiden kali pertama terhadap warga sipil, bukan tahanan politik. Dasar pemberian amnesti cenderung pada rasa kemanusiaan dan keadilan.
“Saya rasa hal yang sama untuk Saiful Mahdi. Sebab, Saiful korban ketidakadilan dan peradilan sesat yang tidak sensitif terhadap kebenaran yang disampaikan Saiful,” ujarnya.
Dia menilai perjuangan mendapat keadilan yang dilakukan Saiful belum selesai dengan hanya menjalani hukuman. Tapi, membutuhkan dukungan banyak pihak untuk mendorong agar Presiden Jokowi melihat potret ketidakadilan yang dialami akademisi. Padahal kebebasan akademik dilindungi UU. Tapi, malah “diporak-porandakan” melalui berlakunya UU 19/2016.
“Layak Saiful diberi amneti sebagai akademisi dan orang yang memperjuangkan kejujuran. Sekalipun fisik di penjara, tapi hati dan pikirannya akan terus memperjuangkan ketidakadilan. Kita terus berupaya agar Saiful Mahdi mendapat keadilan,” katanya.
Eksaminasi putusan
Dewan Pengarah Kaukus Kebebasan Indonesia untuk Akademik (KIKA) Herlambang Wiratraman mengatakan pihaknya telah melakukan eksaminasi terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, banding, dan kasasi terhadap kasus Saiful. Hasilnya menunjukan adanya peradilan sesat. Terdapat nalar hukum yang buruk memandang perkara yang dialami Saiful. Peristiwa yang dialami dan dituduhkan ke Saiful pun jauh dari asas, standar hukum, dan nilai keadilan.
Selain itu, cara menafsirkan pasal-pasal sangkaan/dakwaan tidak sesuai dengan standar hukum sesuai diatur Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP dan penafsiran Pasal 27 UU ITE. Apalagi pemerintah melalui SKB tentang Pedoman Kriteria Implementasi UU 19/2016 mengatur kritik bukan sebuah tindak pidana sebagaimana yang disampaikan Saiful.
“Lima belas anggota majelis eksaminasi melihat putusan ini bukan hanya keliru, tapi tidak memiliki ‘ruh’ mendorong prinsip-prinsip negara demokrasi dan jauh dari membentengi kebebasan berekspresi dan akademik,” tegasnya.
Menurutnya, peristiwa yang dialami Saiful menjadi “pukulan” berat bagi kalangan akademisi se-Indonesia. Sebab, siapapun akademisi di kampus ataupun lembaga riset dapat mengalami hal serupa. Hal itu seiring terpuruk kebebasan sipil yang semakin melemah di Indonesia termasuk kebebasan akademik. Karena itu, pihaknya merasa Presiden Jokowi layak memberi amnesti kepada Saiful.
“Keliru besar memenjarakan kritik, termasuk memenjarakan sikap Saiful Mahdi. Memenjarakan Saiful sesungguhnya melemahkan iklim atau prinsip kebebasan akademik dan otonomi kampus,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur LBH Banda Aceh, Syahrul Putra Mutia yang selama ini mendampingi Saiful, menerangkan kasus ini bermula adanya penerimaan CPNS Dosen di Universitas Syiah Kuala, Aceh pada 2018. Sebagai dosen dan bidang keilmuannya, Saiful mencoba menganalisa dengan sistem yang dibuat. Praktis tesnya berjalan baik. Namun analisa Saiful bahwa sistem rekrutmen terdapat kekurangan. Bahkan, pada tahap tes administrasi masih rentan terjadinya error sistem.
“Dibuktikan di Unsyiah meng-upload berkas di luar syarat sistem, kemudian bisa lulus. Kemudian mengkritik hal ini melalui WhatsApp grup,” ujarnya.
Namun Dekan Fakultas MIPA, Taufik Saidi melaporkan Saiful ke Polresta Banda Aceh dengan tuduhan pencemaran nama baik berbekal kritikan Saiful berupa tulisan di grup WhatsApp. Singkat cerita, Saiful menjalani sidang di PN Banda Aceh. Putusan PN Banda Aceh mengganjar Saiful terbukti bersalah melakukan pencemaran nama baik dengan hukuman 3 bulan penjara dan denda Rp10 juta subsider 1 bulan penjara. Upaya hukum banding dan kasasi pun kandas alias ditolak, sehingga menguatkan putusan PN Banda Aceh.
Sambil mulai menjalani eksekusi, kata Syahrul, melalui penasihat hukumnya dan dorongan masyarakat sipil, Saiful mengajukan amnesti ke presiden. “Kita datang ke Kejaksaan prinsipnya bukan tunduk, tapi patuh terhadap putusan dan menjadi contoh warga negara yang baik. Tapi kita berupaya mencari jalan, tetap melakukan perlawanan, ingin membuktikan kritik bukanlah sesuatu hal yang haram, mudah dipidana seperti ini,” katanya.