Disahkan Sebelum Reses, DPR: Pembahasan RKUHP Harus Ada Ujungnya
Terbaru

Disahkan Sebelum Reses, DPR: Pembahasan RKUHP Harus Ada Ujungnya

DPR dan pemerintah diminta menunda pengesahan RKUHP karena masih ada sebelas pasal yang dinilai masih bermasalah.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Pengambilan keputusan tingkat pertama antara pemerintah dengan Komisi III DPR terhadap hasil pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) telah memutuskan membawa ke rapat paripurna sebelum masa reses. Dengan begitu, pengesahan RKUHP menjadi UU tinggal menunggu hitungan jari. Namun, sebagian kalangan pegiat hukum masih menolak beberapa substansi RKUHP yang dinilai masih bermasalah. Berbagai aksi penolakan digelar secara damai, menunjukkan masih adanya materi muatan yang berpotensi menimbulkan kriminalisasi, anti demokrasi, dan melanggar hak kebebasan berpendapat/berekspresi.  

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan hasil kesepakatan pemerintah dengan Komisi III soal nasib RKUHP bakal ditindaklanjuti ke tahap berikutnya sesuai mekanisme yang berlaku. RKUHP direncakanan bakal diambil keputusan di tingkat II dalam rapat paripurna sebelum masa reses. Hanya saja soal waktunya, pimpinan DPR bakal menggelar rapat Badan Musyawarah (Bamus) terlebih dahulu untuk mengagendakan jadwal paripurna.

Insya Allah sebelum kami memasuki masa reses di masa sidang ini, RKUHP akan disahkan menjadi UU dalam paripurna,” ujarnya melalui keterangannya, Senin (28/11/2022).

Baca Juga:

Dia mengakui terdapat banyak pasal yang masih menuai kontroversial. Namun dalam pembahasan terakhir, terdapat banyak masukan masyarakat. Pasal-pasal tersebut direformulasi sesuai dengan masukan dari elemen masyarakat. Untuk itu, perlu disosialisasikan secara optimal agar publik mengetahui secara utuh materi draf RKUHP yang telah disetujui di tingkat pertama.

Politisi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) itu menilai berbagai masukan masyarakat telah dipertimbangkan dan dibahas pemerintah bersama DPR. Tetapi, pada akhirnya banyak fraksi partai yang menerima masukan dengan berbagai catatan. Meski begitu, nasib pembahasan RKUHP harus ada ujungnya dengan disahkan menjadi UU. Apalagi, pembahasan RKUHP sudah memakan waktu cukup lama, 7 tahun di DPR.

Anggota Komisi III itu meminta pemerintah bersama DPR bersiap mensosialisasikan RKUHP seccara masif kepada masyarakat soal berbagai hal krusial. Setidaknya agar masyarakat dapat memahami dan mengerti betul pasal-pasal yang berpotensi mempidanakan sebuah perbuatan. Namun, Dasco mempersilakan masyarakat yang kekeuh menolak untuk menempuh jalur hukum ke Mahkamah Konstitusi dengan menguji pasal-pasal dalam RKUHP yang dianggap masih belum sesuai bila telah disahkan menjadi UU nantinya. Berdasarkan pantauannya, RKUHP telah dikaji berulang kali di internal tim penyusun RKUHP pemerintah maupun DPR.

Terpisah, Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Trisakti Azmi Syahputra berpandangan masyarakat perlu mengawal pengesahan RKUHP nasional menggantikan KUHP peninggalan kolonial Belanda. Menurutnya, KUHP peninggalan kolonial Belanda yang berlaku lebih dari seratusan tahun lalu itu di Indonesia sudah tak sesuai dengan kehidupan masyarakat kekinian.

“Aturan ini buah pikir manusia, tentunya tidak ada UU yang sempurna. Karenanya apabila dialektika atas RKUHP ini terus berlanjut, tidak akan selesai-selesai, akan jadi tarik menarik, justru ini akan berdampak tertundanya kembali pengesahan RKUHP nasional yang sudah menjadi urgensi bagi bangsa Indonesia,” kata dia.

Menurutnya, sudah saatnya terdapat KUHP nasional yang lebih mengedepankan keseimbangan, memuat kewajiban, hak dan tanggung jawab, moral serta hukum berjiwa bangsa Indonesia. Dia maklum materi RKUHP belumlah sempurna dan masih adanya kekurangan serta belum memenuhi harapan banyak kalangan. Tapi, RKUHP pun telah dikoreksi dengan mendengarkan berbagai aspirasi dan masukan dari elemen masyarakat.

Karenanya, kata Ketua Asosiasi Ilmuwan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha) itu, RKUHP hasil pembahasah akhir diharapkan lebih mendekati kehendak mayoritas kepentingan nasional. Bila dalam praktiknya terdapat penyimpangan maupun kerugian bagi masyarakat, maka publik dapat menguji secara terrbuka sesuai mekanisme yang diatur dan ditentukan peraturan perundang-undangan.

Masih ada 11 pasal bermasalah

Sebelumnya, Ketua YLBHI, Muhammad Isnur mencatat ada 11 ketentuan RUU KUHP yang masih bermasalah. Pertama, pasal terkait living law. Ketentuan dalam RUU KUHP terkait living law berbahaya karena berpotensi semakin memudahkan kriminalisasi. Ketentuan living law lebih lanjut akan diatur dalam peraturan daerah.

“Perempuan dan kelompok rentan lainnya merupakan pihak yang berpotensi dirugikan dengan adanya pasal ini, sebab selama ini masih banyak terdapat perda diskriminatif,” kata Isnur saat dikonfirmasi, Senin (28/11/2022).

Kedua, ketentuan pidana mati. Isnur menilai legalisasi pidana mati merupakan bentuk perampasan hak hidup yang melekat sebagai karunia yang tidak dapat dikurangi atau dicabut oleh siapapun termasuk negara. Pidana mati harus dihapus karena dalam sejumlah kasus membuktikan pidana mati menimbulkan korban salah eksekusi.

Ketiga, perampasan aset untuk denda individu. Menurut Isnur, hukuman kumulatif berupa denda semakin memiskinkan masyarakat yang sudah miskin. Pasal itu memperkuat posisi penguasa. Hukuman kumulatif merupakan metode kolonial dan menjadi ruang bagi negara untuk memeras rakyat.

Keempat, pasal penghinaan presiden yang selama ini disorot koalisi sebagai pasal anti kritik. Ketentuan itu mengatur masyarakat yang mengkritik presiden dapat dituduh menghina dan berujung pidana. Kelima, begitu juga dengan pasal penghinaan lembaga negara dan pemerintah. “Pasal ini menunjukkan bahwa penguasa negara ingin diagung-agungkan seperti penjajah di masa kolonial,” ujar Isnur.

Keenam, pengaturan contempt of court dalam RUU KUHP memposisikan hakim di ruang persidangan seperti dewa. Padahal selama ini di dalam persidangan masyarakat kerap menemui hakim yang berpihak. Jika aturan ini disahkan, dan pada saat dinilai tidak hormat kepada hakim atau persidangan maka dapat dianggap sebagai penyerangan integritas pengadilan. “Pasal ini berbahaya bagi advokat, saksi, dan korban,” bebernya.

Ketujuh, pasal terkait unjuk rasa tanpa pemberitahuan, menurut Isnur masuk sebagai salah satu pasal RUU KUHP yang anti demokrasi. Ketentuan itu tergolong anti kritik karena masyarakat yang menuntut haknya bisa dijatuhi pidana penjara.

Delapan, pasal yang mengacam pidana terhadap pihak yang melakukan edukasi kontrasepsi. Isnur berpendapat pasal itu berpotensi mengkriminalisasi pihak yang melakukan edukasi kesehatan reproduksi. Ironisnya, pasal ini bisa mengkriminalisasi orang tua atau pengajar yang mengajarkan kesehatan reproduksi terhadap anak.

Sembilan, pasal kesusilaan. Bagi Isnur pasal ini berbahaya karena memposisikan penyintas kekerasan seksual rentan mengalami kriminalisasi. Sepuluh, pasal terkait pidana agama. Ketentuan itu akan mengekang kebebasan untuk menganut agama dan kepercayaan. Harusnya urusan agama adalah urusan individu yang sifatnya personal. “Jika RUU KUHP disahkan, maka urusan transenden seperti agama bisa menjadi urusan publik,” urai Isnur.

Sebelas, pasal yang mengancam pidana bagi penyebar marxisme dan leninisme, serta bertentangan dengan pancasila. Ancaman pidana itu mengekang kebebasan akademik dan berpotensi digunakan untuk membungkam kalangan oposisi dan masyarakat yang kritis.

Tak hanya memuat pasal bermasalah, Isnur mencatat proses pembahasan RUU KUHP tidak partisipatif dan harus melalui proses diskusi lanjutan. DPR dan pemerintah lebih baik tidak terburu-buru mengesahkan RUU KUHP sebelum masa reses. Harus dibuka ruang yang luas untuk melakukan diskusi mendalam bersama berbagai ekemen masyarakat.

“Untuk itu, DPR dan pemerintah harus mencabut pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP karena tidak jelas parameternya dan berpotensi menjadi pasal karet,” tegas Isnur.

Tags:

Berita Terkait