Sejak penyerahan draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) versi 9 November 2022, DPR bergerak maju dengan menyerap masukan dan aspirasi dari kalangan elemen masyarakat. Seperti, Aliansi Nasional Reformasi KUHP dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Panitia Kerja (Panja) RKUHP Komisi III pada Senin (14//11/2022) kemarin. Sayangnya, respons Komisi III menunjukan minimnya pemahaman partisipasi publik bermakna dalam proses penyusunan RKUHP.
“Pernyataan Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto bahwa DPR sebagai wakil rakyat tidak memiliki kewajiban dan tidak memiliki waktu untuk memberikan jawaban atas masukan yang diberikan Aliansi menunjukkan miskinnya perspektif mengenai partisipasi bermakna tersebut,” ujar peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Antoni Putra saat dikonfirmasi, Kamis (17/11/2022).
Bahkan, kata Antoni, mengutip pernyataan Ketua Komisi III DPR bahwa RDPU dengan Aliansi diselenggarakan sebagai bentuk kemurahan hati DPR. Karenanya, DPR berhak menerima atau tidak menerima masukan bergantung pada kehendak partai-partai politik. Menurutnya, pernyataan tersebut menunjukkan dua kesalahan fatal.
Baca Juga:
- Komisi Yudisial Kritisi Pasal Pidana Proses Persidangan dalam RKUHP
- Pemerintah Sampaikan Perubahan Pasal dalam RKUHP
- Menkopolhukam: RUU KUHP Disahkan Jadi UU Akhir Tahun
Pertama, masukan masyarakat, termasuk dari Aliansi, bukanlah buah dari kebaikan hati DPR, melainkan bentuk partisipasi publik yang dijamin dalam Pasal 96 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 13 Tahun 2022 (UU PPP).
Dalam hal ini, kewajiban DPR tidak hanya mendengarkan masukan yang diberikan, tapi juga mempertimbangkan dan memberikan penjelasan atau jawaban atas masukan tersebut. Hal itu merupakan kewajiban DPR sebagai bentuk pemenuhan prinsip partisipasi masyarakat yang lebih bermakna (meaningful participation) sebagaimana ditegaskan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Ia mengingatan partisipasi masyarakat yang lebih bermakna harus memenuhi tiga prasyarat yaitu pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard); kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).