Disrupsi Hukum, Matinya Profesi Advokat?
Kolom

Disrupsi Hukum, Matinya Profesi Advokat?

​​​​​​​Suatu keniscayaan jika lawyer di era disrupsi ini harus menjadi the long life learner yakni manusia pembelajar yang tiada henti.

Bacaan 2 Menit

 

Diskusi tentang  penyelesaian sengketa dari dulu sampai sekarang terus mengemuka. Dan intinya adalah ingin mencari penyelesaian sengketa yang paling efisien (efficient judiciary). Bahkan dalam konteks ini pembahasan tentang DNA Legal juga sempat mengemuka. Bahwa penyelesaian sengketa antara suku A dan suku B, misalnya, harus ditemukan metodologi penyelesaian sengketanya tersendiri. Sebab setiap suku boleh jadi mekanisme penyelesaiannya dengan cara  yang khas. Artinya tidak dapat diseragamkan. Tidak ada obat generic untuk penyelesaian sengketa. Tentu saja DNA (deoxyribonucleic acid) terkait kromosom, genetika dan organisme. Tapi di dunia hukum sudah sering terjadi diskusi tentang  DNA Legal.

 

Di Washington DC, Amerika Serikat pengacara atau advokat robot pertama dikenal dengan nama Ross dan dipekerjakan oleh kantor hukum Baker Hosteler untuk menangani perkara kepailitan (Karen Turner, The Washington Post, 16 May, 2016). Di Amerika ada eksperimen di mana Artificial Intelligence digunakan untuk mereview berbagai kontrak dan hasilnya sungguh mengejutkan sebab tingkat akurasinya lebih tinggi dibandingkan puluhan lawyer. Hukumonline.com pernah mengupas soal ini.

 

Baker McKenzei untuk mengembangkan bisnisnya telah bersiap diri dengan “mempekerjakan” AI di 11 kantor hukum di tiga benua. Ben Allgrove, seorang partner di Baker McKenzie  London menyarankan agar lawyer berkembang maka teknologi AI haruslah lebih murah dan transparan. Dengan cara ini akan lahir para lawyer generasi baru (lawyer millennial) dengan spesialisasi baru (a new breed).

 

Untuk pekerjaan corporate matters penerapan AI masih lebih mudah adaptif ketimbang pekerjaan-pekerjaan litigasi. Mengapa? Pekerjaan litigasi membutuhkan argumen-argumen oral, membutuhkan seni dan kreasi yang tetap dibutuhkan di dunia peradilan. Sementara pekerjaan-pekerjaan sebagai corporate lawyers banyak berhubungan dengan berbagai kontrak dan dokumen.

 

Menurut Bob Craig dan Andrew Arruda selaku Chief Information Officer dan Chief Executive Ross Intelligence banyak starts up sebagai legal assistance seperti Lex Machina, CaseText dll. Bob Craig mengatakan “Ross is not a way to replace our attorneys. It is a supplemental tool to help them move faster, learn faster and continually improve… rather than spending hours swimming though hundreds of links, reading through hundreds of pages of cases…”. Dengan demikian Ross tidak dimaksudkan untuk mengganti pengacara, namun hanya untuk mempercepat pengacara dalam belajar ketimbang berjam-jam membuka link internet, membaca berates-ratus halaman kasus tanpa hasil maksimal.

 

Disrupsi akan menghadapi pertarungan sengit, tantangan, kritikan, hujatan melawan berbagai macam kepentingan, kekuasaan, hegemoni, monopoli, mindset, kepentingan dan sebagainya. Bahkan pada dekade 60-an President American bar Association (ABA) tahun 1967 Charles S Rhyne mengatakan, bahwa lawyer tak akan pernah tergantikan karena “the computer is incapable of original thought, reasoning and creative achievement”.

 

Brien Sheppard membuat tulisan dengan judul “Incomplete Innovation and Premature Disruption of Legal Service”, (2015, hal. 1806-1808 Michigan State Law Review 1797). Brian Sheppard adalah Associate Professor Seton Hall University School of Law, S.J.D. Harvard Law School mengatakan bahwa kompetisi akan makin ketat antara lawyer, non-lawyer dan mesin bahkan beberapa tipe lawyer akan berakhir sama persis seperti diprediksi oleh Richard Suskind. Hal ini memang masih ada kontroversi. Namun Judicata sebuah platform visualisasi data hukum telah mengantisipasi dan mengklaim sebagai “mapping legal genome” dan Robot, Robot and Hwang sebagai pengembang dan konsultan software otomatis yang terdiri dari dua robot dan seorang manusia.

Tags:

Berita Terkait