Disrupsi Hukum, Matinya Profesi Advokat?
Kolom

Disrupsi Hukum, Matinya Profesi Advokat?

​​​​​​​Suatu keniscayaan jika lawyer di era disrupsi ini harus menjadi the long life learner yakni manusia pembelajar yang tiada henti.

Bacaan 2 Menit

 

Richard Suskind  professor dari Oxford University seorang Legal Futurolog terkemuka di dunia dalam bukunya yang provokatif dan kontroversial  The End of Lawyers (Oxford University Press, 2008) sudah memprediksi keadaan seperti ini. Apakah masa depan lawyer akan berakhir dan tamat? Reaksinya pasti bermacam-macam. Mungkin ada yang marah dan menyatakan ketidaksetujuannya, ada juga yang mungkin setuju dengan Richard Susskind. Dan mungkin juga ada yang santai saja dan bersikap wait and see.  Banyak untuk disebutkan nama-nama yang moncer sebagai futurolog misalnya Clayton M Christensen, Alvin Toffler, John Naisbit, dan Patricia Aburdane. Mereka adalah pioneer dan tokoh-tokoh non-hukum  yang memprediksi masa depan.

 

Pertanyaan-pertanyaan yang segera muncul ialah: apakah hakim robot ataupun artificial intelligent (AI) adalah subyek hukum atau bukan? Kalau ada kesalahan dalam membuat putusan atau melakukan suatu tindakan hukum, siapa yang bertanggung jawab? Apakah Artificial Intelligent-nya atau programmer di belakang AI? Bagaimana peraturan perundang-undangan dan regulator menghadapi realitas ini? Di manakah posisi kita, para hakim, jaksa, pengacara, polisi dan pengemban hukum lainnya menyikapi disrupsi hukum? Bagaimana dengan hukum kita yang masih banyak merupakan peninggalan zaman kolonial seperti KUHPidana, KUHPerdata dan lain-lain? Akankah peraturan yang kita miliki adaptif dengan era disrupsi yang “mungkin” tidak  dapat dilawan?

 

Menghadapi era seperti sekarang kita jadi teringat dengan tokoh, filosof dan pemikir hukum dunia (notable philosophers of law) seperti Plato, Socrates, Aristotle, Thomas Aquinas, John Locke dan lain-lain. Apa kira-kira yang akan mereka katakan dan tuliskan terkait era disrupsi seperti sekarang ini?

 

Tentu kita ingat para pemikir hukum di tanah air. Bagaimana fenomena tersebut dikaitkan dengan beberapa pemikiran para hukum di tanah air seperti Prof. Mochtar Kusuma Atmadja (dengan teori Hukum  dan Pembangunan), Prof Satjipto Rahardjo (dengan teori Hukum Progressive), Prof Romli Atmasasmita (dengan Hukum Integratif),  Prof. Jawahir Thantowi dengan Mahzab Tamsis Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia dengan Hukum Profetiknya dan sebagainya.

 

Para pakar hukum telah lama berusaha agar hukum dapat dimaknai dari segi substansinya dan bukan hanya dari pasal-pasal yang mati namun lepas dari konteks dan substansi keadilan. Para pemikir dan tokoh tersebut telah berusaha memberikan yang terbaik dalam bidang keilmuannya.

 

Bagaimana dengan para lawyer? Begitupun dengan advokat, adalah suatu keniscayaan (taken for granted) jika lawyer di era disrupsi ini harus menjadi the long life learner yakni manusia pembelajar yang tiada henti. Mereka harus mempersiapkan diri sedini mungkin untuk mengantisipasi dengan cerdas akan adanya berbagai kemungkinan turbulensi atau tsunami hukum terkait dengan teknologi yang terus berkembang. Terus mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi, mengasah ketrampilan, memupuk integritas, peduli kepada mereka yang less in power, dan membangun networks adalah kunci bagi advokat dalam mengarungi masa depan yang serba tidak pasti (uncertain). Selamat datang era baru!  

 

*)TM. Luthfi Yazid, advokat di Jakarta, peneliti dan pengajar di University of Gakushuin, Tokyo ( 2010-2011), alumnus School of Law University of Warwick (Chevening Scholarship), Wakil Presiden Kongres Advokat Indonesia (KAI). Tulisan ini pendapat pribadi.

 

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline

Tags:

Berita Terkait