DPD Minta RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan Dikaji Mendalam
Berita

DPD Minta RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan Dikaji Mendalam

​​​​​​​Sistematika dalam penyusunan RUU  serta pasal-pasal yang yang diatur mesti ditata kembali, sehingga tidak bertentangan dengan UU Sisdiknas dan PP Pendidikan Agama dan Keagaman.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
DPD Minta RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan Dikaji Mendalam
Hukumonline

Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2019. Menempati nomor urut 31, RUU tersebut mendapat sorotan dari banyak kalangan. Salah satunya DPD yang meminta terhadap RUU tersebut dilakukan kajian mendalam, sehingga tidak bertabrakan pengaturannya dengan UU lainnya.

 

Ketua Komite III DPD Dedi Iskandar Batubara berpandangan, penyusunan naskah akademik dan draf RUU dinilai masih positif. Namun demikian, ia menilai, DPR mesti melakukan pengkajian mendalam sebelum dilakukan pembahasan bersama dengan pemerintah. Tujuannya agar draf RUU yang disodorkan ke pemerintah telah optimal, misalnya memasukkan aspirasi dari masyarakat daerah.

 

Selain itu, naskah akademik dan draf RUU yang disusun DPR belum komprehensif. DPR dalam menyusun draf RUU nantinya diharapkan melibatkan berbagai para pemangku kepentingan. Mulai dari elemen keagamaan Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu dan Konghucu.

 

Meski tujuan RUU untuk memajukan dunia pendidikan pesantren, namun, lanjut Dedi, perlu juga pengaturan proporsional mengenai pengaturan sistem pendidikan keagamaan yang sudah berlangsung selama ini. Sehingga, tidak mengubah sistem penddikan keagaman yang sudah berjalan di agama lain.

 

Menurutnya sistematika dalam penyusunan RUU tersebut serta pasal-pasal yang yang diatur mesti ditata kembali. Tak kalah penting, lanjut Dedi, RUU tentang Pesantren dan Pendidikan Keagaman harus tidak bertentangan dengan UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagaman.

 

“RUU ini jangan sekadar copy paste, tapi harus aspirasi langsung dari masyarakat,” ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan pimpinan Muhamadiyah, Nahdlatul Ulama, dan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) di Ruang Rapat Komite III DPD, Selasa (18/12) kemarin.

 

Baca:

 

Wakil Ketua Komite III DPD Novita Anakotta menambahkan, naskah akademik yang dibuat pengusul memang perlu dilakukan penyempurnaan. Khususnya terkait pendidikan dan pembinaan di kalangan umat Kristen. Seperti sekolah minggu dan katekisasi sebagaimana tertuang dalam Pasal 69 dan 70. Menurutnya, keberadaan institusi pendidikan keagamaan sejak dahulu sudah diakui masyarakat Indonesia. Sebagaimana diketahui, sekolah minggu di kalangan Kristen memang sudah diterapkan sejak dini.

 

Novita mengakui RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan amatlah strategis. Oleh sebab itu, muatan materi dalam RUU mesti mengakomodir aspirasi dari berbagai kalangan antar umat dan masyarakat. Menurutnya, penyusunan dan pembahasan RUU mesti dilakukan ketelitian dan kecermatan. Sehingga penerapan UU nantinya tidak menghambat kemajuan pesantren dan pendidikan keagamaan.

 

“Yang jelas DPD ingin kalau payung hukum itu dibuat bisa betul-betul memajukan pesantren dan pendidikan keagamaan,” ujarnya.

 

Anggota Komisi II dari Fraksi PPP Ahmad Baidowi mengatakan proses terbitnya RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan terbilang panjang, yakni sejak 2013. Hingga akhirnya masuk daftar Prolegnas lima tahunan pada 2015. Meski demikian, pada 2016 dan 2017 tidak masuk dalam Prolegnas Prioritas.  Nah akhirnya RUU tersebut masuk dalam daftar  Prolegnas Prioritas 2018 menjadi inisiatif DPR.

 

Menurutnya, draf naskah akademik bila dinilai masih menuai kekurangan, pengusul pun siap melakukan kajian mendalam. Sebab dengan begitu nantinya ketika draf tersebut jadi, maka dapat disandingkan dengan daftar inventarisasi masalah (DIM) yang disusun pemerintah. “Kalau kemudian ini ada persoalan di dalamnya, mari kita kaji kembali. Karena ini baru menjadi draf DPR,” ujarnya.

 

Potensi tumpang tindih

Anggota Komite III Iqbal Parewangi penyusunan dan pembahasan RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan harus dilakukan hati-hati. Pasalnya, tanpa ketelitian bakal berpotensi tumpang tindih penyusunan RUU tersebut dengan UU Sisdiknas beserta aturan turunannya. Bahkan boleh jadi dapat bertentangan dengan Pasal 31 ayat (3) UUD 1945.

 

Ayat (3) menyebutkan, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”. Terkait hal ini, Iqbal mengingatkan agar penyusun RUU lebih berhati-hati dalam mengharmonisasi dan mensingkronisasi dengan peraturan perundangan lainnya.

 

Lebih lanjut senator asal Sulawesi Selatan itu menilai RUU tersebut pun berpotensi  mereduksi keberadaan UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Pasal 10 ayat (1) huruf f. Intinya, pengelolaan pendidikan keagamaan menjadi kewenangan Menteri Agama dan menjadi urusan pemerintah yang bersifat absolut.

 

“DPD RI akan berhati-hati dalam membuat penilaian terhadap RUU ini. Kita akan pertimbangan betul manfaat dan mudharatnya,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait