DPR Jelaskan Rasio Legis Vonis Mati Koruptor Saat Bencana Nasional
Berita

DPR Jelaskan Rasio Legis Vonis Mati Koruptor Saat Bencana Nasional

Menurut DPR, keinginan para pemohon agar Mahkamah menyatakan kata “nasional” setelah frasa “bencana alam” bertentangan dengan UUD Tahun 1945 tidak tepat.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berpandangan penentuan hukuman mati bukan keputusan yang dibuat tanpa pertimbangan matang. Sebab, hak untuk hidup merupakan hak asasi manusia dan dijamin dalam UUD Tahun 1945. Meskipun tindak pidana korupsi merupakan extraordinary crime, tapi pengaturan mengenai hukuman mati bukan hal dapat dilakukan dengan mudah, khususnya bila dikaitkan dengan kondisi bencana alam.  

 

“Bencana alam memiliki beragam bentuk dan skala yang perlu dipertimbangkan dan diperhatikan. Apakah saat terjadi longsor atau banjir, pelaku tindak pidana korupsi dapat dijatuhi hukuman mati? Tentu masalahnya tidak sesederhana itu,” ujar Anggota Komisi III DPR Anwar Rahman di sidang lanjutan uji materi Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), Selasa (5/3/2019). Baca Juga: Pemerintah Jelaskan Makna ‘Bencana Nasional’ dalam UU Pemberantasan Tipikor

 

Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor menyebutkan, “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.” Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor menyebutkan, “Yang dimaksud dengan ‘keadaan tertentu’ dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.”

 

Dipaparkan Anwar, berdasarkan keterangan risalah pembahasan UU Tipikor dapat dilihat semangat DPR dan Pemerintah memberantas korupsi sangat besar. Termasuk perhatian terhadap pelaku kejahatan tindak pidana korupsi, khususnya dilakukan dalam hal terjadi “bencana alam nasional” yang harus diperberat sanksi hukumannya dari seumur hidup menjadi pidana mati.

 

“Hal inilah yang menjadi alasan pemberat atau special characteristic yang dimaksudkan pembuat undang-undang,” ujar Anwar dalam persidangan yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.

 

Bagi DPR, keinginan para pemohon agar Mahkamah menyatakan kata “nasional” setelah frasa “bencana alam” bertentangan dengan UUD Tahun 1945 tidak tepat. Dasar alasan para pemohon mengkategorikan kejahatan korupsi saat bencana alam sebagai kejahatan kemanusiaan yang mengacu Pasal 7 ayat (1) The Rome Statute of The International Criminal Court (ICC) yang menyebutkan kejahatan kemanusiaan merupakan perbuatan sebagai bagian dari serangan meluas terhadap penduduk sipil berupa pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, penyiksaan, perkosaan, kejahatan apartheid, dan lainnya.

 

Namun, menurut DPR, tindakan korupsi yang dilakukan saat keadaan bencana alam tidak dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. “Karena itu, dalil para Pemohon a quo, DPR berpandangan bahwa Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945 karena tidak ada hak dan atau kewenangan konstitusi yang dilanggar baik secara aktual maupun potensial.”      

Tags:

Berita Terkait