Dua Opsi Bagi Kejaksaan Setelah Putusan Lepas Karen Agustiawan
Berita

Dua Opsi Bagi Kejaksaan Setelah Putusan Lepas Karen Agustiawan

Kejaksaan masih mempelajari isi putusan.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Karen Agustiawan saat disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: RES
Karen Agustiawan saat disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: RES

Mahkamah Agung (MA) melepaskan mantan Direktur Utama PT Pertamina persero Karen Agustiawan dari segala tuntutan hukum. Menurut majelis kasasi, perbuatan Karen bukanlah merupakan tindak pidana, tetapi resiko bisnis meskipun ada unsur kerugian keuangan negara dalam keputusan perseroan. Karen sudah dikeluarkan dari ruang tahanan dan kini menghirup udara bebas.

Kejaksaan Agung mengatakan akan mempelajari putusan kasasi terlebih dahulu. Setidaknya korps adhyaksa memiliki dua opsi atas putusan tersebut. Pertama, mengajukan upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali (PK) terhadap keputusan tersebut. Kedua menggugat Karen secara perdata untuk mengembalikan kerugian keuangan negara yang ditaksir mencapai Rp568 miliar. 

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Hari Setiyono mengatakan pihaknya akan menunggu salinan lengkap terlebih dahulu. Setelah itu, penuntut unum akan mempelajari putusan untuk selanjutnya baru diketahui langkah apa yang akan dilakukan berikutnya. “Kami belum menerima salinan putusan MA secara lengkap, jika sdh diterima akan kami pelajari dulu guna menentukan langkah hukum berikutnya,” ujar Hari kepada hukumonline.

Saat ditanya apa opsi yang akan dipilih, Hari juga enggan memberikan jawabannya. “Kami akan pelajari dulu,” ujarnya.

Mengenai PK, hukum acara memang menyebut yang berhak melakukan PK hanyalah terpidana atau ahli warisnya, seperti tertera dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang berbunyi “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.”

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 33/PUU-XIV/2016 juga memperkuat hal tersebut. Lewat uji materi Pasal 263 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dimohonkan Anna Boentaran, istri terpidana kasus cessie (hak tagih) Bank Bali Djoko S Tjandra senilai 904 miliar. MK menyatakan Jaksa Penuntut Umum tidak bisa mengajukan permohonan PK, kecuali terpidana atau ahli warisnya.

“Mengabulkan permohonan Pemohon, Pasal 263 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, yaitu sepanjang dimaknai lain selain yang secara eksplisit (tegas) tersurat dalam norma a quo,” ucap Ketua Majelis MK Arief Hidayat saat membacakan amar putusan bernomor No. 33/PUU-XIV/2016 di ruang sidang Mahkamah Konstitusi, Kamis (12/5).

Tags:

Berita Terkait