Dua Pasal Konstitusi Ini Harus Jadi Pedoman dalam Pembangunan Ekonomi
Berita

Dua Pasal Konstitusi Ini Harus Jadi Pedoman dalam Pembangunan Ekonomi

Pasal 28H dan Pasal 33 ayat (3), (4) UUD Tahun 1945. Yang paling penting dilakukan yaitu mensinergikan pembangunan ekonomi dengan aspek lain seperti lingkungan hidup, kesehatan, sosial, dan demokrasi.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Menteri BUMN Erick Tohir usai bertemu lima Pimpinan KPK untuk berdiskusi membahas Pemulihan Ekonomi Negara (PEN), Rabu (8/7). Foto: RES
Menteri BUMN Erick Tohir usai bertemu lima Pimpinan KPK untuk berdiskusi membahas Pemulihan Ekonomi Negara (PEN), Rabu (8/7). Foto: RES

Memasuki kenormalan baru (new normal) akibat wabah pandemi Covid-19 yang masih mengancam menjadikan pentingnya aspek kesehatan masyarakat. Sebab, kenormalan baru ini dirasa sangat penting untuk memulai kembali pembangunan ekonomi ke depan dengan tetap memperhatikan aspek kesehatan masyarakat dan kerentanan bencana.  

Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan Teguh Surya mengatakan selama ini pembangunan ekonomi di Indonesia minim memperhatikan aspek kerentanan bencana. Padahal, Indonesia termasuk negara yang rentan bencana, seperti gempa, perubahan iklim termasuk pandemi Covid-19.

Alih-alih memperhatikan kerentanan yang ada, Teguh melihat pembangunan ekonomi yang dilakukan justru menambah potensi kerawanan. Misalnya, salah satu wilayah yang rentan terhadap krisis iklim ada di selatan Papua, tapi di Papua saat ini marak konversi hutan alam, salah satunya menjadi perkebunan sawit. “Pembangunan ekonomi kita saat ini harus memperhatikan aspek kerentanan,” kata Teguh Surya dalam diskusi secara daring, Kamis (9/7/2020). (Baca Juga: Penerapan Normal Baru Tetap Prioritaskan Faktor Kesehatan)

Teguh mencatat pembangunan ekonomi tidak selalu menguntungkan jika tidak memperhatikan faktor kerentanan, maka yang berpotensi muncul yaitu bencana atau wabah penyakit dan kerugian. Misalnya, ketika kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tahun 2015, kerugian negara ditaksir Rp221 triliun. Padahal keuntungan yang diperoleh dari perkebunan sawit hanya Rp100 triliun.

Teguh mencontohkan perkebunan sawit di Riau menambah kerentanan, tercatat 8 dari 10 desa di sekitar perkebunan sawit rawan mengalami karhutla, kekeringan, dan longsor. Perkebunan sawit juga sulit mensejahterakan petani. Hal serupa juga terjadi pada industri ekstraktif seperti pertambangan, karena membuat wilayah semakin rentan akibat limbah yang dihasilkan dan persoalan sosial. Misalnya tercatat sudah ada ratusan anak yang meninggal di lubang tambang.

Teguh mengingatkan arah pembangunan ekonomi seharusnya mengacu konstitusi, Pasal 28H, Pasal 33 ayat (3) dan (4) UUD Tahun 1945. Tapi faktanya pembangunan yang berjalan malah bertentangan dari amanat konstitusi. “Tiga pasal konstitusi itu harus menjadi pedoman dalam pembangunan ekonomi,” tegasnya.

Pasal 28H

  1. Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
  2. Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
  3. Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
  4. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.

Pasal 33

  1. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
  2. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Harus diubah

Guru Besar Fakultas Ekonomi UI Prof Emil Salim berpendapat pandemi Covid-19 mengubah pola pembangunan ke depan. Karena itu, cara berpikir ekonomi pada masa sebelum Covid-19 harus diubah total. Misalnya, jumlah usia muda sangat besar, tapi akibat Covid-19 kegiatan belajar mengajar tidak dilakukan secara tatap muka, tapi melalui daring.

Pemerintah dinilai belum menyentuh persoalan ini, padahal penting untuk membangun infrastruktur yang mendukung kebutuhan usia muda pada masa pandemi, seperti membangun infrastruktur listrik, telekomunikasi, dan air bersih yang merata di seluruh Indonesia. “Kalau bonus demografi kita tidak terdidik, maka kita hilang kesempatan untuk lepas landas tahun 2045,” ujar Emil.

Ketua Dewan Pimpinan KEHATI, Ismid Hadad, mengatakan setelah perang dunia kedua II pembangunan itu diartikan hanya untuk ekonomi. Puncaknya tahun 1961, PBB menetapkan periode itu sebagai dasawarsa pembangunan. Kemudian banyak negara maju yang mengucurkan dana guna membantu negara miskin dan berkembang untuk membangun ekonominya. Dengan harapan ketika sudah berkembang, negara tersebut bisa menjadi mitra dagang negara maju.

Pembangunan ekonomi digunakan seolah sebagai “obat mujarab” untuk mengatasi kemiskinan di negara yang sedang berkembang. Ukuran yang digunakan untuk melihat perkembangan ekonomi sebuah negara yakni GNP/GDP atau pertumbuhan ekonomi. Akibatnya pertumbuhan di sektor lain dianggap tidak penting. Kemudian SDA hanya dilihat sebagai bahan baku produksi yang bisa dieksploitasi.

“Lingkungan hidup dianggap bukan kebutuhan mendesak. Akibatnya hampir semua kebijakan pemerintah menempatkan lingkungan bukan sebagai prioritas pembangunan,” keluhnya.

Menurut Ismid, yang paling penting dilakukan yaitu mensinergikan pembangunan ekonomi dengan aspek lain seperti lingkungan hidup, sosial, dan demokrasi. Arah pembangunan global sebagaimana SDGs dan MDGs yakni pembangunan berkelanjutan. “Pembangunan ekonomi dan lingkungan hidup sama pentingnya."

Tags:

Berita Terkait