Edmon Makarim, Sarjana Komputer yang Kini Menjabat Dekan FHUI
Profil

Edmon Makarim, Sarjana Komputer yang Kini Menjabat Dekan FHUI

Memenuhi panggilan hati untuk kuliah di FHUI, menjadi dosen FHUI, hingga menjadi Dekan FHUI.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

 

“Waktu saya mengisi pilihan kuliah di Fakultas Hukum itu di bulan Ramadhan, nah ini terpilih jadi Dekan juga di bulan Ramadhan,” ujarnya sambil tersenyum. Berikut petikan dialog hukumonline bersama Edmon, Jumat sore di ruangannya (21/6).

 

Anda mengatakan akan mengembangkan kajian hukum kawasan di FHUI, apa alasannya?

Begini, kalau kita mencermati dalam mata kuliah hukum internasional hampir di semua fakultas hukum se-Indonesia pasti mengajarkan konvensi internasional yang diratifikasi Indonesia. Ratifikasi itu kemudian disahkan dalam bentuk undang-undang nasional dan diajarkan sebagai bagian mata kuliah di Indonesia. Itu pun sering terjadi perbedaan signifikan antara isi konvensi yang kita ratifikasi dengan pengaturannya ketika menjadi peraturan perundang-undangan nasional.

 

Masalahnya, kita tidak pernah benar-benar membaca data hukum negara lain di lingkup internasional. Sementara itu mereka benar-benar mempelajari sistem hukum kita. Akhirnya kita jadi seperti terjajah. Misalnya dalam perdagangan, mereka memahami bagaimana hukum perdagangan kita. Nah, kita mulai dari kajian hukum kawasan Asia Tenggara.

 

Berarti kajian hukum kawasan ini untuk mendukung ekspansi perdagangan Indonesia di komunitas Masyarakat Ekonomi ASEAN?

Mulai dari Asia Tenggara dulu, lalu meluas ke Asia. Tapi apa iya bisnis di Indonesia tidak akan berhubungan dengan Afrika Selatan? Kita harus melangkah lebih maju dengan mengumpulkan data-data tentang hukum di kawasan Asia Tenggara. Kita terjemahkan dalam bahasa Indonesia untuk dipelajari.

 

Kita sendiri sudah memiliki sistem hukum yang kaya dan kompleks, terdiri dari sistem hukum Barat, hukum syariah, dan hukum adat. Tetapi, bangsa yang besar akan siap menghadapi berbagai masalah kompleks. Indonesia perlu dan siap untuk memimpin penguasaan hukum di kawasan, tidak sebatas sistem hukum sendiri. Jangan sampai ada perasaan bahwa kita tertinggal dalam pengetahuan hukum dan mereka lebih maju.

 

Kita harus mampu menciptakan pengaruh, bukan terus menjadi objek ekspansi. Akhirnya, kita akan bisa membandingkan keunggulan yang dimiliki sistem hukum lain dengan keunggulan yang kita miliki. Dengan begitu akan terlihat keunggulan kompetitif yang kita miliki untuk terus dikembangkan. Jangan sampai merasa semua konsep hukum yang dimiliki asing, terutama Barat, selalu lebih baik.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait